
MANADO— Harga perdagangan kopra dari tingkat petani di Sulawesi Utara (Sulut) mengalami penurunan 26,36% jika dibandingkan harga tahun lalu. Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulut, Hanny Wajong menjelaskan, harga salah satu komoditas andalan Sulut dalam beberapa bulan terakhir memang mengalami penurunan. “Harga saat ini di tingkat pedagang sekira Rp8.100 per kilogram (kg),” ujar Wajong, kemarin. Dari harga tersebut, kata dia, mengalami penurunan 26,36% jika dibandingkan harga November 2017 yang menyentuh Rp11.000 per kg. Menurut dia, berdasarkan pantauan harga di pasar tradisional di Kota Manado, harga kopra sempat menguat Rp9.000 per kg di Januari 2018. “Penurunan ini lebih karena kondisi pasar, secara ekonomi kalau persediaan banyak tapi permintaan sedikit maka harga akan turun,” jelasnya.
Dikatakannya, fluktuasi harga tersebut tidak dapat dikendalikan pemerintah. Sebab kopra bukan merupakan bahan pokok strategis. “Harga kopra tidak bisa kami kendalikan, mau naik atau turun. Karena ini ada mekanisme pasar,” ujarnya. Meskipun demikian, pihaknya tetap mendorong para petani menjaga hasil produksi produk turunan kelapa tersebut. Sebab kata dia, dengan hasil yang baik akan membuat harga pasaran meningkat. “Kami imbau kepada petani tetap menjaga kualitas produksi. Karena kopra dengan kadar terbaik yang paling diminati pasar,” katanya. Kopra merupakan produk turunan kelapa yang banyak dihasilkan petani, karena memang lebih mudah cara pengolahannya, karena itu produksi kopra daerah di Sulut cukup tinggi.
Kopra akan diolah menjadi berbagai produk, termasuk minyak goreng. Selain itu, sebagian besar diolah menjadi minyak kelapa kasar atau crude coconut oil (CCO), serta sebagian menjadi komoditas ekspor Sementara itu, Regional Economic Development Institute (REDI) Sulut Salmon Tarigan menuturkan, pemerintah sebaiknya menjaga luas lahan kelapa di Sulut. Kata dia, lahan perkebunan mulai terkikis dengan banyaknya pembagunan. “Saya kira pemerintah perlu mencetak lahan baru untuk perkebunan kelapa, karena lambat laun jumlah produksi kelapa akan turun kalau tidak ada peremajaan,” ujarnya. Selain itu, pemerintah juga perlu ambil bagian menyuarakan keluhan petani ke pemerintah pusat. Sebab jika harga kopra terus tertekan maka kesejahteraan petani akan turun. “Pemerintah harus berani bersuara ke pemerintah pusat untuk memberikan kepastian harga bagi petani kelapa. Ini penting untuk ekonomi daerah,” jelasnya.
Kepala Bidang Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Marthedy M Tenggehi mengatakan, kelapa dan turunnya masih menjadi tulang punggung ekspor di Sulut. Komoditas itu juga yang menjadi andalan dalam lima tahun terakhir. “Produk olahan kelapa seperti kopra dan minyak kelapa merupakan komoditas ekspor unggulan Sulut,” paparnya. Menurut dia, kopra tidak hanya diminati negara-negara Asean akan tetapi dibutuhkan negara Amerika dan Eropa untuk dijadikan bagian dari bahan pangan. “Kopra dari Sulut sangat diminati pasar internasional karena memiliki kualitas dan mutu yang sesuai standar, karena itu mesti dijaga ketahanan produksinya,” ujarnya. (stenly sajow/cr)
Tinggalkan Balasan