MANADO – Sejumlah komunitas di Kota Manado menggelar aksi kamisan di Tugu Zero Point, Kamis (19/9/2019). Aksi diikuti sebelas komunitas dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi mahasiswa, dan individu lain. Dalam aksi massa menuntut penyelesaian kasus HAM yang terjadi di Indonesia.

Koordinator aksi, Acun Christian menyebutkan aksi ini merupakan kamisan pertama di Kota Manado.

“Kamisan merupakan bentuk aksi solidaritas yang dilaksanakan setiap kamis di sejumlah kota di Indonesia. Aksi ini awalnya terbentuk pada 2007, yang tujuan awalnya untuk menyatakan solidaritas dan tuntutan atas pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sejak 1965. Dengan aksi ini diharapkan pemerintah Indonesia mengetahui ada kasus HAM yang belum terselesaikan bahkan sejak zaman orde baru,” ungkap pria yang juga advokat di satu yayasan lembaga bantuan hukum ini.

Perserta aksi menggunakan pakaian dan atribut seperti payung dan spanduk berwarna hitam. Menurut Acun payung hitam merupakan simbol yang umum dipakai pada aksi-aksi kamisan di kota lainnya, dan sudah digunakan sejak aksi pertama pada mei 2007.

Pada aksi kamisan kali ini massa juga membagikan selebaran kepada masyarakat yang berisi sejumlah tuntutan selain pengusutan kasus HAM, di antaranya meminta penghentian pelemahan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, mendesak pemerintah Sulut melakanakan dengan segera reforma agraria, serta meminta Polda Sulut menarik aparat kepolisian di lahan warga yang berkonflik dengan perusahaan sawit di Lolak.

Di aksi perdana ini, komunitas dan lembaga yang tergabung di antaranya YLBHI-LBH Manado, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Metro Manado, PMII Politeknik, Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) Sulut, Komunitas Gema pro demokrasi, GMNI UNPI, LPM Inovasi Unsrat, Theater Club Manado, PMKRI Manado, dan Kaum Muda Pecinta Alam Tunas Hijau.

Beberapa warga pejalan kaki yang tengah lewat tampak berhenti untuk menyaksikan aksi. Salah seorang warga yang ditemui di lokasi aksi, Jemy Pangalila mengatakan dirinya tertarik dengan orasi dan puisi-puisi yang dibacakan secara bergantian.

“Kalau aksi seperti ini baru pertama kali menyaksikan. Kebetulan saya lewat untuk berbelanja dan tertarik ingin melihat jadi singgah. Aksinya bagus, ada pertunjukan puisi juga,” terang warga Wanea ini.

Pangalila sempat membaca selebaran yang dibagikan. Dia mengaku setelah memperhatikan ia memutuskan mendukung aksi dan penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. (Ilona piri)