JAKARTA– Langkah pemerintah  melakukan pencegahan  penyebaran korona (covid-19) melalui rapid test menuai kritikan. Reaksi yang muncul tersebut terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tersebut.

Kondisi tersebut di antaranya disampaikanKetua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafisdi Twitter pribadinya @cholilnafis.  Jika Faktanya memang demikian, bagi sebagian besar masyarakat, termasuk orang tua santri yang hendak mengantarkan sang anak ke pesantren ke lain daerah, beban tersebut tentu sangat memberatkan. Padahal rapid test menjadi syarat wajib.

Pada temuan yang disampaikan Cholil Nafis, orang tua santri harus mengeluarkan biaya Rp400 ribu untuk melakukan  rapid test di Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta. Beban biaya yang harus dikeluarkan bagi masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi akan semakin membengkak karena model deteksi dini korona itu hanya berlaku tiga hari saja.

Bila melihat besarnya dana penanganan korona yang telah digelontorkan pemerintah, naik dari Rp405,1 triliun menjadi RpRp695,1 triliun. Karena itulah pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan rapid test, termasuk adanya kecenderungan komersialisasi rapid test.

“Kalau orang mau tes saja disuruh bayar, sementara anggaran kita banyak, apakah ini tidak lebih urgent dibandingkan lainnya? Kalau orang tidak tes, dikejar-kejar (untuk) disuruh tes. Sementara orang mau tes (malah) disuruh bayar. Ini kan paradoks sebenarnya,” ujar Cholil Nafis, saat dikonfirmasi SINDOnews.com.

Dia mengingatkan, belajar dari berbagai negara yang sukses menangangi Covid-19, rapid tersebut harus dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Karena itu pemerintah sudah seharusnya  memudahkan mereka yang ingin melakukan rapid sehingga bisa diketahui penularannya. Dengan begitu akan diketahui mana yang perlu diisolasi, mana yang tidak.

Sejumlah kalangan  DPR merespons adanya komersialisasi rapid tersebut. Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Irwan, misalnya. Dia mendesak pemerintah mengatur pelaksanaan rapid test. Bahkan dia meminta pemerintah menggratiskan rapid test dan swab test untuk masyarakat. Apalagi anggaran penanganan korona begitu besar.

Menurut dia, pembiayaan rapid test secara mandiri oleh masyarakat ini tentu menambah beban dan derita masyarakat. Jika  tidak memungkinkan penggratisan,  pemerintah hendaknya melakukan pengawasan sehingga biaya rapid test bisa terjangkau. “Jangan sampai ini kemudian menjadi komersialisasi oleh pemerintah ataupun pihak yang tidak bertanggung jawab,” tegas Irwan.

Selain itu, Irwan juga meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum lainnya benar-benar mengawasi pelaksanaan anggaran penanganan Covid-19 yang sangat besar ini, sehingga tepat sasaran dan tidak ada penyelewengan.

Senada, anggota Komisi IX DPR Anwar Hafid menyesalkan jika rapid test justru menjadi beban baru bagi masyarakat di tengah kehidupan yang semakin sulit akibat pandemi korona. Dia pun mengingatkan,  rapid test sudah seharusnya dilakukan kepada semua orang sebagai langkah awal, tindakan preventif untuk mencegah semakin meluasnya kasus atau penderita baru Covid-19.

“Kalau kita bicara penanganan Covid-19, sekarang ini semua orang terdampak. Kalau saya menyarankan kepada pemerintah agar masyarakat, utamanya yang tidak mampu dan anak sekolah, seharusnya rapid test jangan dibebani biaya,” katanya, Senin (22/6/2020).

Dia kemudian menuturkan,  rapid test adalah bagian dari penanganan Covid-19. Karena itu  DPR pun menyetujui penggunaan anggaran sebesar-besarnya untuk penanganan Covid-19 melalui pengesahan Perppu 1/2020. “Saya berharap rapid test dilakukan gratis dan lebih masif. Kalau bisa semua orang Indonesia itu melakukan rapid test. Itulah kenapa anggaran Covid-19 itu diberikan sebesar-besarnya untuk itu sebenarnya,” paparnya.

Direktur Indonesia Public Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah juga mempertanyakan alasan pemerintah yang tetap membiarkan masyarakat membayar sendiri biaya rapid test. “Bisa saja negara yang gagal mengalokasikan anggaran, sekaligus gagal menertibkan praktik di lapangan,” ujar Dedi.

Menurut dia,  kondisi ini semakin menyakitkan masyarakat. Apalagi anggaran ratusan triliun itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena Perppu yang telah mennjadi undang-undang terkait penanganan Covid-19 memiliki imunitas hukum, sehingga membebaskan para pengguna anggaran untuk sewenang tanpa ada konsekuensi hukum.

Dari pihak Gabungan Perusahaan Farmasi, mengungkapkan bahwa rapid test ini tidak semuanya tercover anggaran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Pasalnya, anggaran yang diberikan pemerintah hanya kepada rumah sakit yang ditunjuk resmi dalam menangangani dan menjalankan rapid test massal.

“Jadi ini bisa menjadi bisnis baru untuk para pedagang rapid test, karena akan meningkatkan permintaan alat rapid test,” ujar Ketua Gabunga Perusahaan Farmasi Vincent Harjanto.

Dia menuturkan, produsen rapid test di luar negeri juga sudah banyak sekali. Hal ini tentu akan semakin memurahkan pembelian produk alat rapid test.”Karena banyak jadi harga produk impornya sekitar USD3-4 (atau di bawah Rp60 ribu, kurs Rp14.000),” katanya.(Koran Sindo)