MANADO – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di tengan pandemi Covid-19, tentu saja berbeda ketika ada dalam kondisi normal. Perlu banyak kebijakan yang diubah dan ditambah, apalagi terkait hak pemilih.

Pasalnya, Pilkada adalah wujud demokrasi, dimana rakyat memilih sesorang untuk mewakilinya dalam pemerintahan negara, atau proses penyerahan sementara hak-hak politik warga kepada orang yang dipilihnya.

Karena itu, WhatsApp Group (WAG) Justitia Societas membahas hal tersebut dalam diskusi via daring pada Sabtu (4/7/2020) dengan mengangkat tema “Hak Pemilih dalam Pilkada di Tengah Pandemi”, yang dipandu Stefan Voges sebagai moderator dan juga admin WAG.

Jeirry Sumampouw, Ketua Komite Pemilih Indonesia (Tepi) yang menjadi salah satu narasumber mengatakan, di zaman orde baru, pemilih ada di pinggir permainan politik, namun di saat orde reformasi ini, pemilih ada di pusat permainan politik. “Sekarang pemilih merupakan penentu kelangsungan demokarsi. Ini lah yang menjadi pekerjaan kandiditat politik, dimana   mereka harus  mengambil hati rakyat, karena ini berbeda saat orde baru dulu,” ucapnya.

Lanjut dia, saat ini pemilih tidak bisa keluar dari hegemoni politik dan juga pemilih di tengah pandemi ini tentunya dalam segi psikologisnya terganggu. “Pemilih banyak yang belum bisa keluar dari hegeomoni politik, yang dimana pemilih dipaksakan hak politiknya sesuai dengan kandidat itu, entah dari berbagai hal. Hal ini juga entah tidak mau terjangkit, enggan terlibat karena takut, dan bisa saja menolak petugas saat harus melengkapi data dan sebagainya merupakan salah satu perihal yangò akan dihadapi di lapangan,” ujarnya.

Saat ini, kata dia, memperjuangkan pemilih yang berdaulat sangatlah penting, membangun kesadaran kritis pemilih. Contohnya, informasi yang jelas soal calon, hak pemilih dan sebagainya merupakan hal-hal yang perlu dilakukan apalagi di kondisi saat ini.

Narasumber lainnya yakni Toar Palilingan, pakar hukum tata negara di Universitas Sam Ratulangi menuturkan, PKPU 5 sudah diundangkan, jadi Pilkada akan dilangsungkan, karena sebelumnya dilakukan penundaan.

“Hak pilih merupakan hak konstitusional rakyat, dalam Pasal 18 UUD 1945 terkait pemilihan secara demokratis, dan saat ini pemilihan sudah ditetapkan dan akan berlangsung sesuai jadwal yang ditetapkan,” ucapnya.

Toar juga menambahkan, dalam meneliti DPT (Daftar Pemilih Tetap) saat ini, menjadi tantangan akibat pandemi ini. “Dalam situasi ini orang kebanyakan berpikir masa bodoh, dan DPT menjadi tantangan akibat data yang harus dikelola itu harus ditinjau langsung dengan tahapan yang memunkinkan kita beraktifitas di pandemi ini,” ujarnya.

Namun, dalam setiap Pemilu masih banyak persoalan yang terjadi contohnya soal DPT “Di setiap pemilihan Daftar Pemilihan Tetap (DPT)  sering bermasalah, karena sering dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi,” kata Toar.

Dalam kondisi ini, petugas penyelenggara Pemilu harus berpikir keras. Pasalnya, bukanlah hal mudah untuk mengerjakan berbagai persiapan dalam Pemilu. Langkah yang cerdas serta hati-hati sangat diperlukan dalam kondisi ini.

Ferry Daud Liando Peneliti Pemilu juga mengakatan, sebelum dilangsungkan pemilihan suara sekiranya enam bulan tahapan lainnya harus dimulai terlebih dahulu. Dan tentunya banyak kendala yang berpotensi terjadi dalam hal ini. “Contohnya pasien positf Covid-19 yang harus memilih, tentunya untuk masuk ke dalam ruang karantina bukanlah hal mudah mulai dari biaya dan resikonya. Pilkada bukan hanya soal pemilihan suara, namun banyak tahapan didalamnya dan itu pastinya harus banyak berinteraksi dengan masyarakat. Karena partisipasi masyarakat merupakan variabel penting dalam Pilkada,”ucapnya. (Clay Lalamentik)