MANADO– Tak hanya memicu penyakit, pandemi Covid-19 juga dapat berdampak buruk pada kesehatan mental masyarakat. Makin banyak orang yang mengalami stres, cemas, bahkan depresi. Tidak hanya orang tua, tapi kondisi tersebut juga dialami anak-anak dan remaja. Pendidikan jarak jauh (PJJ) alias belajar dari rumah, pembatasan aktivitas bermain di luar rumah, beban belajar hingga kondisi keluarga yang terdampak pandemi Covid-19 menjadi beberapa faktor pemicu anak-anak mengalami gangguan kesehatan mental.

Tidak mudah melihat ciri-ciri anak dan remaja yang mengalami stres dan kecemasan, karena tidak semua anak menunjukkan hal demikian. Beberapa hal yang bisa dilihat sebagai indikasi potensi hadirnya stres dan kecemasan pada anak adalah tanda fisik, emosi dan interaksi sosial. Tanda fisik seperti munculnya psikosomatis seperti sakit perut, sakit kepala, lemas, tidak bergairah dan juga mudah sakit seperti flu, gatal-gatal dan lainnya.

Kemudian, dari sisi emosi misalnya muncul mood swing, kemalasan, ketidakbergairahan, kebingungan, tidak fokus dan tidak bisa konsentrasi. Sedangkan pada interaksi sosial ada beberapa anak yang menjadi menarik diri dari interaksi dengan teman atau orang lain.

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra berpendapat PJJ memang menjadi kebijakan pemerintah yang dianggap solusi untuk mencegah penularan Covid-19 terhadap anak. Namun, di sisi lain, anak tidak bisa bebas bergerak, berkomunikasi dengan rekan sebayanya karena pembatasan sosial, harus belajar di rumah.

Kebijakan pemerintah belajar jarak jauh atau daring selama masa pandemi berpotensi memunculkan stres pada anak, bila tidak diatasi dengan pendampingan orang tua di rumah. Ilmuwan psikologi Preysi Siby menguraikan, sebuah perubahan yang pasti mengundang berbagai respons dari anak-anak sekolah terhadap kesehariannya yang “hilang”.

“Keseharian belajar di sekolah, keseharian bertemu dan bermain dengan teman-temannya, keseharian keluar rumah untuk datang dan pergi dari rumah ke sekolah rutinitas”, ujar Dosen Psikologi UKIT tersebut, kemarin.

Sebagian besar banyak yang kecewa karena kehilangan kesempatan untuk bermain bercanda ria dengan teman sebaya saat istirahat di sekolah, manusia secara kodrati sebagai makhluk sosial

“Sehingga sangat membutuhkan interaksi langsung dengan sesama terlebih dengam teman sekolah.Intinya bagaimana orang tua bisa mendampingi anak untuk menghadapi perubahan yang terjadi. Khususnya hubungan interpersonal anak dengan sesama teman karena sangan berpengaruh pada kualitas eksistensi individu anak bisa mempengaruhi stabilitas emosi anak,” lanjut Sibih.

Di lain pihak kesulitan anak didik, orang tua dan guru dalam penerapan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring disebut Pengamat Pendidikan dan Dosen Fakultas ilmu pendidikan Unima Ivan Wullur seharusnya dapat diatasi dengan evaluasi waktu belajar dan metode pengajaran serta menyeleksi materi yang relevan yang sesuai dengan cara belajar online ini .

“Meski sudah didukung dengan berbagai teknologi selama menjalani masih ada celah yang menyebabkan pembelajaran di rumah ini menjadi kurang efektif”, ujarnya. “Salah satu hal yang dikhawatirkan jika pembelajaran di rumah ini berlangsung dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan adanya learning loss atau berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis,” pungkasnya.

Fenomena ini pun mendapat tanggapan dari Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulut, Jull Takaliuang. Menurut dia, hingga saat ini memang pihak LPA belum menerima laporan terkait anak yang stres dan efek-efek lainnya karena terlalu lama di rumah.

Kendati demikian, dirinya sering melihat juga di beberapa daerah memang ada kejadian-kejadian seperti ini. “Laporan khusus terkait anak stres karena lama di rumah belum ada, tapi terkait kekerasan terhadap anak sampai kekerasan seksual itu ada,” pungkas Jull, kemarin.

Dikatakannya kepada KORAN SINDO MANADO, pengalaman di beberapa tempat lainnya selain di Sulut kerap dijumpai anak yang stres hingga orang tua stres karena situasi yang mengharuskan anak-anak belajar dari rumah ini.

“Itu gejala-gejala yang umum. Bahkan orang tua sudah tidak mampu menangani lagi cara belajar anak-anak. Mungkin karena para orang tua ini juga kan bukan guru, jadi ya ada kebosanan. Itu kan ujung-ujungnya berdampak kepada bagaimana mereka menangani anak atau memperlakukan anak mereka,” terangnya.

“Misalnya sudah kasar, bisa saja sampai memukul anaknya begitu. Padahal anak-anak juga sama, dimana anak-anak ini merasa bosan dengan pola pendidikan seperti ini. Tapi memang kalau laporan belum ada yang kita terima, yang anak-anak mengalami stres,” tambah Jull.

Untuk itu, kata Jull, memang perlu pengendalian diri dan emosi dari para orang tua untuk bisa memahami situasi pandemi, serta turut menjelaskan kepada anak-anak terkait kenapa sampai kita berada di posisi yang serba sulit seperti sekarang ini.

“Sebagai orang tua harus menjadi lebih bijak, lebih sabar, menjadi lebih memiliki keuletan karena situasi inikan semua kita tidak minta-minta. Situasi Covid-19 yang berkepanjangan tidak kita harapkan terjadi. Jadi sebagai orang tua harus lebih memperbanyak variasi-variasi pola penanganan terhadap anak,” harap Jull.

Pasalnya, saat ini kita juga dihadapkan dengan ‘banjir’ informasi yang bisa didapatkan dari berbagai media, baik media massa, elektronik, hingga media sosial. “Jadi orang tua yang harus menambah skill, keterampilan diri supaya bisa lebih bijak menghadapi anak-anak. Itu kuncinya,” paparnya.

“Orang tua harus pandai-pandai mengontrol emosi juga jangan sampai memukul dan lain sebagainya. Anak-anak kan tidak bisa mengontrol emosi, tidak tau apa yang dibuatnya, pokoknya dia merasa jenuh, anak-anak merasa ini sudah keterlaluan. Tinggal bagaimana dari orang tua memberi pemahaman kepada anak ini,” kata Jull.

Jangan sampai kita malah terus menerus menolak dan tak ‘berdamai’ dengan virus korona seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. “Harus berdamai dengan situasi, karena kalau kita terus menerus menolak, mengumpat dan lain sebagainya, malah akan jadi lebih stres, yang mana dampaknya juga bisa kepada anak,” jelas Jull.

“Tapi kalau anak kita melihat ‘oh ini ibu dan bapak saya sudah menerima keadaan dan memberi contoh yang baik, mematuhi protokol kesehatan’, maka anak-anak akan mengikuti dan memahami bahwa situasi sekarang ini terjadi diluar kemampuan kita sebagai manusia,” kuncinya.

Adapun, kebosanan dan kelelahan mengurus anak-anak dialami oleh Catherine (bukan nama sebenarnya) yang merasa sudah lelah mengurus anak-anaknya untuk mengikuti berbagai program kelas online di tengah masa pandemi Covid-19 ini. Belum lagi anak-anaknya juga sudah mulai bosan.

“Jadi ya terkadang saya sudah tak sempat mengontrol mereka, ditambah lagi saya sibuk dengan pekerjaan. Syukur ada nenek mereka yang turut membantu, tapi itu juga terkadang tak dihiraukan oleh mereka dan lebih sering sibuk dengan gadget masing-masing,” ungkapnya.

“Mau kita marah juga tapi nanti salah dan malah mereka tidak empati. Jadi ya sebagai orang tua saya hanya bisa mengingatkan juga sembari sesekali saya mengingatkan mereka untuk belajar dan membuat pekerjaan rumah-nya,” tukasnya. (Deidy Wuisan/Fernando Rumetor)