MANADO – Sejumlah danau di Indonesia termasuk Danau Tondano masuk dalam kondisi kritis akibat mengalami pendangkalan dan pencemaran. Jika tidak segera ditangani serius, pelan tapi pasti danau alami tersebut akan mati atau menjadi daratan. Karena itu, perlu langkah bersama pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan danau.
Total ada 15 danau di Tanah Air yang saat ini sedang dalam kondisi kritis. Yang memprihatinkan, sebagian besar adalah danau besar yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa di mata dunia. Danau dimaksud antara lain Danau Toba di Sumatera Utara, Danau Maninjau di Sumatera Barat, Danau Rawapening di Jawa Tengah, dan Danau Tondano di Sulawesi Utara. Selanjutnya Danau Limboto di Gorontalo, Danau Tempe di Sulawesi Selatan, Danau Poso di Sulawesi Tengah, serta Danau Sentani di Papua.
Seluruh danau tersebut kini dalam penanganan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Revitalisasi delapan danau tersebut telah dianggarkan melalui APBN Tahun Anggaran 2020. Sejak 2016 Kementerian PUPR secara bertahap telah melaksanakan revitalisasi terhadap 10 danau dari 15 danau kritis.
Perhatian serius terhadap kelestarian danau sangat penting karena fungsinya menopang kehidupan manusia yang ada di sekitarnya. Danau antara lain bisa melindungi manusia dari bencana, terutama banjir, karena mampu berperan sebagai reservoir atau penampung air hujan. Danau juga menjadi sumber pengairan untuk pertanian, bahkan sumber air minum untuk warga.
Tak kalah pentingnya, danau bisa memberi manfaat ekonomi karena menjadi tempat bagi warga sekitar menangkap ikan serta menjadi objek wisata yang menarik. Dengan berbagai fungsi dan manfaat yang diberikan, selayaknya danau yang selama ribuan tahun menjadi bagian dari peradaban manusia bisa dijaga dari kerusakan.
Terkait dengan permasalahan Danau Tondano, jaring tancap dinilai mengancam ekosistem biota air tawar. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Lendy Aruperes mengatakan, aturan jaring tancap masih sementara dalam pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dalam pembahasan RTRW akan diatur mana yang bisa dan mana yang tidak bisa terkait jaring tancap.
“Selama ini memang untuk jaring tancap tidak memiliki aturan, sehingga para pengusaha ikan dengan leluasa untuk memperluas wilayah mereka sesuka hati,” ucap Aruperes. Aruperes juga mengatakan bahwa dalam waktu dekat Sekertaris Daerah Kabupaten Minahasa akan melakukan presentasi di Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Negara (ATR-BPN) untuk membahas RTRW untuk daerah Kabupaten Minahasa.
“Jika dalam presentasi tersebut mendapat persetujuan, baru kita akan mengatur mana yang akan menjadi lokasi wisata hingga mana yang bisa menjadi tempat para pengusaha jaring tancap tempati,” jelas Aruperes. Adapun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Vicky Kaloh mengatakan, untuk penanganan eceng gondok yang ada di Danau Tondano sampai saat ini masih sementara berlangsung.
“Saat ini kita memiliki delapan alat untuk mengangkat eceng gondok, empat alat milik Pemkab Minahasa dan 4 alat milik Pemprov Sulut. Untuk alat yang kita miliki di letakan di Kelurahan Toulour sementara untuk alat Pemprov diletakan di wilayah Desa Eris,” tutup Kaloh.
Revitalisasi Tuntas 2024
Revitalisasi danau kritis yang dilakukan Kementerian PUPR merupakan tindak lanjut atas hasil Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) di Denpasar, Bali pada 13 Agustus 2009.
Melalui revitalisasi Tahun Anggaran (TA) 2020, enam danau masuk kategori superprioritas, yakni Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Rawapening, Danau Tondano, Danau Limboto, dan Danau Tempe. Adapun danau prioritas yakni Danau Poso dan Danau Sentani.
Direktur Bendungan dan Danau Kementerian PUPR, Airlangga Mardjono, mengungkapkan, seluruh danau tersebut harus direvitalisasi karena dinilai strategis pada skala regional, nasional, bahkan internasional. Revitalisasi danau bertujuan untuk mengembalikan fungsi alami danau sebagai tampungan air melalui pengerukan sedimen, pembersihan gulma air atau eceng gondok, pembuatan tanggul, termasuk penataan di kawasan daerah aliran sungai. “Laju sedimentasi tinggi, kualitas air menurun, sempadan belum jelas,” tutur Airlangga kepada KORAN SINDO, Sabtu (27/3).
Masalah sedimentasi itu tidak hanya di hulu. Berdasarkan daerah tangkapan air (DTA), masalah tersebut bisa terjadi di sekitar danau itu sendiri. Namun, penanganan tidak semua menjadi tugas Kementerian PUPR saja. Ada pihak terkait lain yang juga dilibatkan dalam revitalisasi danau, menyesuaikan letak atau lokasi danau tersebut.
Airlangga menuturkan, dalam hal kawasan hutan penanganan menjadi ranah stakeholder bidang kehutanan. Adapun dalam hal permukiman, perkebunan, industri, dan lain-lain merupakah ranah stakeholder terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing. Secara umum, pelibatan stakeholders tersebut bisa mencakup pemerintah daerah, peneliti atau akademisi, perusahaan, dan masyarakat setempat. “Semua elemen sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya harus ikut dalam rangka pelestarian danau dan sumber-sumber air lain,” katanya.
Sejauh ini proses pengerjaan fisik delapan danau masih dalam tahap lelang proyek. Secara nonfisik, kegiatan yang dilakukan meliputi proses feasibility study dan pembentukan panitia penetapan sempadan. Nantinya revitalisasi delapan danau ditargetkan selesai pada 2024. Setelah itu, kegiatan akan tetap dilanjutkan dengan memfokuskan pada pemeliharaan badan danau dan pengawasan sempadan.
Setelah rampung bukan berarti aktivitas warga seperti budi daya ikan di sekitar danau tidak lagi diperbolehkan. Airlangga menilai, semua kegiatan di sekitar kawasan danau perlu disesuaikan dengan daya dukung danau dan pengawasan yang ketat sehingga tidak kembali mengalami kritis atau kerusakan.
“Pemanfaatan warga sekitar danau masih boleh dilakukan, termasuk pemanfaatan untuk air baku, irigasi, dan PLTA sepanjang tidak mengganggu ekosistem danau,” ucapnya.
Seusai kewenangan Kementerian PUPR, lanjut Airlangga, target jangka panjang terhadap danau-danau yang dipulihkan tersebut hanya pada pengembalian fungsi tampungan air serta pemeliharaannya. Bila nantinya dikembangkan menjadi kawasan wisata atau ecotourism maupun fungsi lain, itu di luar kewenangan direktoratnya. “Dari Ditjen SDA, targetnya adalah memelihara kuantitas air. Lebih ke kuantitasnya, ketersediaan atau cakupan air,” katanya menegaskan. (Michael Tumbelaka)
Tinggalkan Balasan