JAKARTA – Ketua Setara Institute Hendardi menilai eksistensi kelompok teroris dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat. Di sisi lain, kata dia, berkembang upaya untuk mendelegitimasi tindakan polisional oleh institusi-institusi keamanan negara dalam menangani terorisme. “Hal itu mendorong masyarakat menjadi permisif, karena berkembang persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu,” kata Hendardi.
Padahal, menurut dia, dua aksi teroris yang terakhir menunjukkan betapa jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa masyarakat. Dia menjelaskan, demi melindungi kepentingan publik dan keselamatan warga, tindakan polisional yang terukur dan akuntabel, untuk melumpuhkan teroris dan jaringannya dibenarkan, (permissible) dalam perpsektif hukum dan hak asasi manusia (HAM). Padahal, kata dia, ruang-ruang publik yang permisif terhadap intoleransi dan radikalisme merupakan enabling environment atau lingkungan yang membuat dan mempercepat tumbuhnya terorisme dan rekonsolidasi jaringan dan sel-sel tidur terorisme. Dia mengatakan, terorisme merupakan musuh bersama.
Oleh karena itu, menurut dia, mobilisasi sumber daya dan dukungan bersama jelas dibutuhkan. Dia menambahkan, penanganan terorisme, mulai dari pencegahan hingga penindakan yang bersifat terukur dan akuntabel, harus dilakukan secara simultan untuk menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara.
Masyarakat, lanjut dia, harus berpartisipasi dalam pencegahan dan aparatur negara meski melakukan tindakan hukum yang akuntabel dan terukur dalam bentuk penindakan. “Sinergi demikian akan membentuk imunitas kolektif dari penyebaran terorisme melalui saluran apapun, termasuk dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, seperti media sosial dan internet,” ungkapnya.
Dia berpendapat, lone wolf merupakan strategi mutakhir di kalangan kelompok dan jaringan teroris. Strategi tersebut, kata dia, memungkinkan siapa saja menjadi aktor teroris. “Dua peristiwa teror terakhir di Makassar dan di Mabes Polri menunjukkan bahwa kelompok pengusung ideologi teror masih eksis di Indonesia, termasuk dengan menggunakan strategi lone wolf,” katanya.
Dia menuturkan, Jaringan JAD adalah salah satu terorisme yang paling menonjol mengadopsi strategi lone wolf dalam menjalankan tindakan teror. “JAD mengkapitalisasi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan memanfaatkannya secara efektif untuk melakukan proses radikalisasi di ruang publik dengan menyasar kelompok-kelompok spesifik, yang memiliki potensi transformasi secara cepat untuk menjadi intoleran aktif, radikal, lalu jihadis dan melakukan amaliyah teror,” tandasnya.
Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkap motif pelaku teror di depan Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri, Jakarta. Selain balas dendam dan iming-iming surga, bubarnya ISIS juga menyebabkan jaringan teroris melakukan serangan secara sporadis. “Mereka melakukan balas dendam setelah mentornya terbunuh,” katanya.
Wawan menjelaskan, para pengantin ini memang sedang dicari aparat keamanan. Dia sadar sedang dicari maka dia ‘lari-lari siang’ atau menyamar untuk menghapuskan jejak, menghilangkan atribut, mengganti komunikasinya, nomornya, mengganti cover name, cover story, dan cover job, kemudian pindah-pindah tempat. “Tujuannya untuk dendam yang ingin dia lakukan dengan sebuah penyerangan dan berbuah surga itu yang sudah disampaikan. Kita ingin ini segera diluruskan,” katanya.
Kemudian, penyebab lainnya karena awalnya ada perintah serangan dari ISIS yang kemudian terus diikuti oleh seluruh elemen yang menjadi afiliasinya di berbagai wilayah di dunia. Mereka mencoba aplikasikan dengan segala yang ada, karena jaringan ini sudah berbaiat dengan ISIS, termasuk MIT. “Mereka tetap terngiang bagaimana ingin mewujudkan itu dan Indonesia menjadi target untuk melakukan langkah-langkah. Misalnya menyerang kepolisian, karena kepolisian yang membendung langkah mereka. Itu yang menjadi pemikiran. Maka capacity building yang terus kita tingkatkan,” papar Wawan.
Dia mengungkap kaum milenial seperti pelaku teror Mabes Polri, ZA, menjadi target utama kelompok teroris dalam menyebarkan paham radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Apalagi, masyarakat yang tidak kritis terhadap suatu ajaran baru. “Para milenial ini memang menjadi target utama mereka. Biasanya intoleran maupun teror masuk kepada masyarakat yang tidak kritis, artinya menelan mentah ajaran apa yang disampaikan,” ungkapnya.
Menurut Wawan, pihaknya selalu menyampaikan kepada kaum milenial dan kaum second liner untuk selalu melalukan kroscek, cek dan ricek. Tanyakan pada ahlinya, para ulama, guru-guru, orang tua, karena mereka yang berpengalaman agar kajian yang baru didapat lebih komprehensif. BIN kata dia, selalu melakukan upaya pemantauan selama 24 jam untuk melihat masyarakat dalam berselancar maya. “Yang berselancar di dunia maya itu seperti apa. Banyak juga yang kita peringatkan. Adek, Mas, Mbak, yang seperti ini sebenarnya tak betul, yang betul yang seperti ini,” ungkap Wawan. (Koran Sindo)


Tinggalkan Balasan