MANADO – Masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) akhir-akhir ini digemparkan dengan maraknya fenomena bunuh diri. Beberapa kasus bahkan menjadi topik pembicaraan di media sosial bahkan di dunia nyata.

Pengamat Kesehatan Masyarakat, dr Ardiansa Tucunan menilai bahwa fenomena bunuh diri adalah hal yang sudah menjadi lazim dalam masyarakat global termasuk di Indonesia dan daerah kita.

“Tentu saja ada banyak penyebab yang melatar belakangi insidens bunuh diri. Kalau kita analisis satu per satu peristiwa di seluruh dunia itu sangat bervariasi, tapi ada kesamaan secara individual,” ujar pria yang akrab disapa dr Adi ini kepada SINDOMANADO.COM, Minggu (30/5/2021).

Menurut dia, kesamaan yang terlihat ialah ketidakmampuan masyarakat kita termasuk di Sulut dalam mengendalikan dan menghadapi tekanan hidup dan masalah yang mendera, apa pun jenisnya, adalah penyebab utama dari banyaknya peristiwa bunuh diri akhir-akhir ini.

“Mulai dari masalah sepele sampai masalah yang cukup berat dihadapi oleh masyarakat kita setiap hari. Angka bunuh diri semakin tinggi dari waktu ke waktu, karena kompleksitas hidup yang dialami publik. Kita menghadapi masalah ekonomi yang berat,” paparnya.

Banyak masalah sosial yang kita alami tidak bisa dikontrol. Termasuk masalah keluarga, masalah kesehatan yang dialami seperti menghadapi pandemi Covid-19, masalah pendidikan dan sebagainya. Ini bisa membuat masyarakat kita tidak bisa mengatasinya.

“Salah satu kunci yang tidak kita miliki di era modern dan mulai tergerus adalah spiritualitas yang rendah, di mana manusia tidak mampu menghadapi konflik batin dalam dirinya dan juga tidak mampu menghadapi manusia lain secara personal, sehingga jalan pintasnya adalah bunuh diri,” ungkapnya.

Kalau mau dirinci, kata Akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi bunuh diri. Penangannya pun berbeda antara satu kasus dengan kasus lainnya.

Masalah ekonominya misalnya, kebanyakan masyarakat kita mengalami kelumpuhan ekonomi yang parah seperti ekonomi bangkrut atau tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Kita harus mampu berdikari secara ekonomi. “Di Jepang saja orang kalau ada masalah ekonomi atau pekerjaan bisa bunuh diri,” tuturnya.

Kemudian masalah pribadi yang tidak kunjung diselesaikan secara baik dapat menjadi pemicunya. “Sehingga masalah yang ada perlu diselesaikan dengan tetap tenang dan bijaksana, berpikir secara dewasa,” imbuh dr Adi.

Oleh sebab itu, dari hasil analisis pribadinya, dr Adi menuturkan bahwa nilai spiritualitas dan fungsi keluarga dalam masyarakat mulai mengalami degradasi, sehingga nilai spiritualitas dan fungsi keluarga dalam masyarakat harus lebih diperkuat lagi.

Ditanyakan terkait hal-hal apa yang bisa dilakukan masyarakat apabila mengetahui ada kerabat, teman atau sahabat yang berniat untuk bunuh diri, maka dr Adi menyebutkan bahwa kelompok orang dekat ini harusnya mampu menjadi penolong.

“Masyarakat yang dewasa dan berpendidikan, serta memegang nilai-nilai dan etika yang baik, seharusnya mampu menjadi penolong bagi mereka yang berniat bunuh diri ini,” tukas dr Adi yang berkecimpung di dalam masalah kesehatan publik ini.

Lebih lanjut disampaikannya, pendampingan dan terus mencoba membantu dalam menghadapi masalah seseorang yang rentan bunuh diri adalah jalan keluar. “Tokoh agama dan masyarakat punya peran besar dalam menghadirkan rasa nyaman sehingga masalah yang dihadapi seseorang dapat dicari jalan keluar,” bebernya.

Sebagai orang dekat dalam keluarga, kita pun diharapkan dapat cepat menyadari masalah yang dihadapi banyak publik kita, termasuk masalah-masalah yang dihadapi anggota keluarga lain, kerabat, teman, maupun sahabat.

“Ada banyak keluarga yang tidak memahami persoalan yang dihadapi orang terdekatnya, karena ketidakmampuan mendeteksi gejala awal atau berbicara secara langsung tentang masalahnya,” pungkasnya. (Fernando Rumetor)