MINAHASA – Cuaca ekstrem yang melanda hampir seluruh wilayah di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) berdampak buruk untuk penghasilan para nelayan.
Belum lagi dampak pandemi yang memukul sektor perokonomian daerah, ikut memperparah pendapatan para penangkap ikan tersebut.
Seperti disampaikan Hasril Modimbaba, nelayan di Desa Tanawangko, Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa.
Ia menyebut, banyak hambatan dan kendala saat ini yang membuat para nelayan di Tanawangko berkurang pendapatannya.
“Faktor utamanya karena memang cuaca ekstrem. Kami tidak punya pilihan dan tetap melaut mencari ikan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, meski harus was-was,” ungkapnya, Kamis (11/11/2021).
Hasril yang menggunakan Kapal Pajeko untuk melaut mengaku hanya mendapatkan tangkapan rata-rata sebanyak 500 ekor.
“Itu jauh dari hasil tangkap dari tahun-tahun kemarin. Kami dalam satu kapal ada 15-20 orang. dari harga pasaran ikan dijual Rp15.000 kilogram (kg) sampai Rp20.000 per kg. Hasilnya pun kami harus bagi rata. Belum lagi untuk pemilik kapal,” ujarnya.
Ia berharap, pemerintah daerah dapat memperhatikan kondisi para nelayan di Tanawangko.
“Terlebih dapat memberikan bantuan seperti membangun sarana dan prasarana serta mencukupi kebutuhan BBM dalam menunjang mata pencaharian mereka,” harapnya.
Hal yang sama diungkapkan Sudirman Teleh, nelayan Tanawangko yang menggunakan perahu fiber.
Menurutnya, belakangan ini sangat sulit mendapatkan BBM jenis bensin yang membuat mereka harus beralih ke bahan bakar pertalite.
“Kami sering resah melihat petugas di SPBU Tanawangko. Banyak masyarakat dari desa lain yang sering datang untuk mengisi bensin mendapat pelayanan yang baik. Namun kami yang mempunyai kartu nelayan yang datang untuk mengisi bensin sering kali tidak mendapatkan bagian,” ujar Sudirman.
Tak ada pilihan lain, kata Sudirman, mereka terpaksa menggunakan pertalite meski resikonya mesin perahu motor cepat panas.
Para nelayan di Tanawangko juga masih mengeluhkan kurangya penerangan di malam hari.
Kondisi itu membuat mereka merasa kesulitan ketika ingin pergi melaut di karenakan banyaknya lampu yang sudah mati di sekitaran pesisir pantai.
“Saya berharap pemerintah setempat dapat melihat kembali lampu–lampu yang ada di sekitar pesisir pantai yang sudah mati dan dapat diganti dengan yang baru,” tambah Steven Senewe, nelayan perahu kecil.
Dia juga berharap pemerintah untuk segera dapat membanggun tanggul pemecah ombak, karena ketika badai datang membuat kapal dan perahu yang ada menjadi rusak terkena terpaan ombak besar.
“Kiranya pemerintah segera membanggun tanggul pemecah ombak untuk menjaga perahu nelayan jika nantinya cuaca buruk datang,” tukasnya.
Sementara itu, Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulut, Jesta M. Saruan menjelaskan sejumlah program bantuan untuk nelayan.
Ia menuturkan, bantuan yang dianggarkan lewat APBD berupa penguatan fasilitas pokok fungsional penunjang di tiap pelabuhan perikanan nelayan.
“Lalu bantuan sarana prasarana berupa mesin untuk perahu, kapal-kapal mulai dari 3GT 10GT, 15GT, 20GT dan 30GT. Khusus untuk kapal harus bersyarat berbadan hukum. Untuk bantuan APBD sendiri dapat diterima oleh kelompok–kelompok nelayan,” bebernya.
Untuk perlindungan, kata Jesta, para nelayan sudah diberikan asuransi nelayan Jasindo dan BPJS Ketenagakerjaan yang baru-baru ini bekerja sama dengan Pemprov Sulut.
“Untuk sementara ini kami baru mengalokasikan berupa bantuan kapal pelang, rumpon dan cool box. Kemudian, untuk tahun kemarin kami pemerintah memnerikan subsidi bbm untuk para nelayan yang terkena pandemi Covid-19,” terangnya.
Ia menambahkan, kedepan pihaknya akan mencoba untuk mengalokasikan jaket tuna bagi para nelayan.
“Memang banyak usulan serta proposal yang kami terima dari para nelayan tapi dengan terbatasnya anggaran jadi kami belum mampu untuk mengkover semua dari setiap kabupaten. Mudah-mudahan kedepanya kami masih mendapatkan alokasi anggaran lagi,” tandasnya. (Reinaldo Senewe/mg-03)
Tinggalkan Balasan