ONDONG – Salah satu nama desa unik di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) adalah Desa Kanawong di Kecamatan Siau Barat. Lokasinya sangat strategis berada di tengah dua kota yaitu Ondong sebagai Ibu Kota Sitaro dan Ulu sebagai pusat perekonomian warga.
Warga Desa Kanawong memiliki cerita rakyat terkait asal-muasal tempat tersebut yang masih diwariskan turun-temurun. Bahkan, sangat melegenda sampai saat ini. Cerita itu adalah Kisah Sense Madunde dan Sembilan Bidadari.
Kapitalau (Kepala Desa) Kanawong Ronald Kaumbur, mengatakan, dinamakan Kanawong karena diambil dari bahasa daerah Nikanawong yang artinya kejatuhan. Namun, anekdot yang berkembang dari mulut ke mulut mengatakan asal-muasal desa tersebut bervariasi.
“Ada yang mengatakan dinamakan Kanawong karena tempat kejatuhan dari Pahawo. Cerita lainnya mengatakan adalah tempat kejatuhan bidadari,” ungkapnya, Kamis (10/03/2022).

Ronald mencoba meluruskan berdasar sejarah Desa Kanawong. Dia menceritakan, zaman dahulu hiduplah seorang lelaki bernama Sense Madunde. Dia dikenal sangat piawai menggunakan senjata sumpit. Suatu hari pergilah Sense Madunde berburu ke suatu tempat yang saat ini dinamai Desa Beong.
Sense Madunde berburu menyusuri kali mengarah ke mata air Ake Sio. Tiba-tiba ia mendengar suara canda tawa sekelompok wanita di lokasi mata air. Rasa penasaran membuat Sense Madunde mendekati sumber suara tersebut.
Terkejutlah dia ketika melihat ada sembilan bidadari yang sementara mandi di lokasi mata air Ake Sio. Kecantikan para makhluk gaib berwujud manusia berjenis kelamin wanita tersebut membuatnya takjub dan berdecak kagum.
Sense Madunde pun memilih dari kesembilan bidadari mana yang paling cantik. Setelah mendapati sasaran, secara diam-diam dia mencuri selendang salah satu bidadari dan menyembunyikannya. Selendang ini merupakan baju terbang para bidadari.
“Tak berselang lama kehadiran Sense Madunde diketahui para bidadari. Mereka pun bergegas terbang kembali ke kahyangan. Namun, salah satu bidadari tidak bisa terbang karena selendangnya hilang. Singkat cerita, Sense Madunde berhasil merayu untuk menikahkan bidadari tersebut,” beber Ronald.
Kemudian lanjut dia, menguraikan, Sense Madunde dan bidadari sepakat memutuskan untuk menikah. Akan tetapi, bidadari memberi persyaratan selama mereka hidup bersama, Sense Madunde dilarang membakar bulu ayam atau sejenisnya. Mereka dikaruniai seorang anak yang dinamakan Pahawo.
Suatu ketika Sense Madunde sedang membersihkan halaman rumah dia membakar sampah-sampah yang dikumpulkan. Tanpa disadari, ada bulu ayam yang turut terbakar bersama sampah-sampah tersebut.
“Tiba-tiba dari kejadian itu sang bidadari menghilang entah kemana,” jelas Ronald.
Lanjut kapitalau ketujuh Kanawong ini, mengungkapkan, Sense Madunde bersama anaknya Pahawo melakukan pencarian namun tidak menemukan.
Keduanya memutuskan naik ke puncak Gunung Tamata. Sebab, mereka berasumsi ibu Pahawo telah kembali ke negeri kahyangan. Di puncak Tamata mereka menaiki sebuah pohon raksasa yang sangat tinggi.
“Mereka pun berteriak memanggil sang bidadari. Tiba-tiba datanglah angin yang sangat kencang sekali. Sense Madunde dan Pahawo tak mampu bertahan.”
“Pahawo ditiup angin jatuh di suatu tempat di Desa Beong yang kemudian dinamai Pahawo. Adapun Sense Madunde jatuh di dusun I Desa Kanawong.”
“Karena kejatuhan Sense Madunde inilah diabadikan menjadi nama Desa Kanawong.”
“Desa Kanawong mula-mula merupakan bagian dari Desa Kalumpang. Pada tahun 1975, Desa Kanawong resmi memekarkan diri. Kapitalau pertama adalah Heskia Lumimbu.”
“Saat ini Desa Beong memiliki jumlah penduduk 675 jiwa. Mata pencarian warga didominasi oleh petani,” pungkas Ronald.(Jackmar Tamahari)
Tinggalkan Balasan