MANADO – Kasus dugaan penyerobotan tanah yang dilakukan oleh Margaretha Makalew alias MM dan Lexie Tenda alias LT telah memasuki masa persidangan di Pengadilan Negeri Manado pada Rabu (10/9/2025).

Perkara tersebut telah terdaftar di Pengadilan Negeri Manado dengan nomor perkara : 242/Pid.B/2025/PN.Mnd, dimana MM telah ditetapkan sebagai Terdakwa dalam persidangan itu, sementara LT masih belum ditahan namun memiliki kewajiban untuk wajib lapor di kepolisian.

Joucelin Alaida Panese melalui kantor hukum SES & Partners menyampaikan tanggapannya mengenai hasil sidang tersebut.

“Pertama-tama kami mengucapkan terimakasih kepada aparat penegak hukum, baik yang ada di Polda Sulut maupun Polresta Manado karena laporan kami sudah ditindaklanjuti sampai P21 dan sekarang sudah memasuki masa persidangan,” kata C. Suhadi kuasa hukum Joscelin Alaida Panese dalam keterangan persnya, Senin (15/9/2025).

Suhadi mengatakan di sini kami ingin menyikapi persidangan yang sedang berlangsung, pertama barangkali yang perlu diperhatikan dalam kasus ini apa sih alat buktinya. Yang kami sikapi adalah menyangkut masalah kepemilikan, (bukti kepemilikan) jadi perkara ini bukan semata-mata hanya dilihat ada putusan saja, tetapi dasar kepemilikan.

“Setelah kami pelajari dari putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tahun 1976 maupun tahun 1969, kami meragukan dari putusan tersebut. Sebab putusan-putusan itu yang katanya bersumber dari perkara itu alat buktinya tidak ada. Kenapa saya katakan alat buktinya tidak ada? Kalau yang namanya tanah utamanya di Manado dan sekitarnya, itu dibuktikan dengan register kalau tanah adat atau SK semacam surat keterangan dan sebagainya yang tercatat di buku desa/kelurahan, itu tidak ada di dalam putusa,” jelasnya.

“Padahal mereka mengklaim punya alat bukti itu ada 6 kalau gak salah, pertama putusan tahun 1969 itupun putusannya tidak kita ketemukan sampai sekarang sehingga kita ragukan. Harusnya kalau memang ada putusan tahun 1969 terdaftar di pengadilan, tapi setelah kami telusuri ternyata di pengadilan juga tidak ada sehingga sangat aneh perkara itu,” ujarnya.

Suhadi menjelaskan disitu ada 3 putusan mulai dari PN di tahun 1969, PT sampai kasasi katanya seperti itu. Kemudian kita juga melihat ada putusan tahun 1976, kami tahunya putusan itu dari dokumen yang ada setelah kami teliti secara baik mereka baru dapat putusan itu berupa putusan salinan tahun 2021 jadi belum lama. Nah putusan aslinya dimana, kan aneh.

“Terus kemudian ada lagi bukti-bukti lain berupa surat keterangan keterangan, sementara surat keterangan itu bukan menunjukkan alasan dasar kepemilikan tapi surat keterangan yang tidak jelas, karena alat buktinya tidak ada di Pengadilan, hal ini kami buktikan pada saat inzage. Jadi kalau benar ada surat keterangan maka surat keterangan itu masih harus didukung alat bukti yang lain. Harusnya ada surat register atau surat-surat apa yang berkaitan dengan kepemilikan, nah di sini kan tidak ada,” tuturnya.

“Saya ambil contoh yang namanya produk putusan, misalnya A berperkara dengan B tapi ini perkara sudah diatur sedemikian rupa seperti yang terjadi dalam dunia peradilan kita dewasa ini. A bilang sama B, lo kalah nanti dalam perkara yang menang saya, nah dari contoh ini, apakah alat bukti menjadi penting, tentu tidak, yang penting ada putusan,” ucapnya.

Ternyata, tambah Suhadi, tanah itu bukan punya A maupun B, tapi punya C sebagai Pemilik tidak ikut digugat. Karena perkara dilakukan secara diam diam agar pemilik tidak tahu. Dalam dunia pengadilan dalam mengambil putusan kan jelas, tidak melihat benar salahnya akan tetapi siapa yang paling kuat walaupun akhirnya putusan itu dipermasalahkan,” terangnya.

“Begitupun yang terjadi dalam persoalan klien kami, dasarnya apa mereka memiliki tanah tersebut jangan hanya melihat pada putusan. Karena putusan adalah bagian pendukung saja akan tetapi kekuatan yuridisnya berdasarkan alas hak yang ada,” bebernya.

Sementara itu tim kuasa hukum Joscelin Alaida Panese, M. Eddy Gozali menerangkan kalau alas haknya tidak ada mau gimana dikatakan itu sebagai pemilik tanah sehingga hal itulah yang menjadikan dasar kita membuat laporan. Sehingga laporan kami pun diterima, karena memang mereka tidak memiliki bukti kepemilikan tanah.

“Jadi kalau mereka mengatakan 101% menang dan sebagainya, menang dan sebagainya periksa dulu putusan itu buktinya apa? Sekali lagi putusan itu bukan merupakan satu-satunya alat bukti, karena putusan itu mengikuti dari alas hak yang ada kalau memang perkara itu benar adanya,” katanya.

Eddy menjelaskan apa yang dipaparkan oleh kuasa hukum terdakwa, kami melihat sangat jauh dari harapan karena mereka hanya melihat putusan yang kemudian dijadikan pegangan sehingga salah besar. Contohnya begini, kalau orang misalnya punya Girik, register atau sertipikat kalau tanah itu sudah bersertipikat kan itu bisa dijadikan dasar kepemilikan.

“Bukan surat keterangan dan didukung dengan surat keputusan pengadilan, jadi itu salah besar karena jelas sekali dalam kaitan ini kepemilikan klien kami itu terdaftar registernya di kelurahan. Sedangkan dia yang katanya sebagai pemilik tanah dan ada putusan tidak ada buktinya disitu, jadi cuma semacam khayalan saja atau klaim sepihak,” ungkapnya.

Sementara, kata Suhadi, Klien kami punya Register dan Register itu terdaftar di kelurahan. Jadi bukti kepemilikan Klien kami dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

“Oleh karena perbuatan merusak plang nama diatas Klien Kami, mereka terkena pasal pengerusakan. Itu artinya Klien Kami adalah sebagai pemilik tanah yang benar,” tuturnya

Sebelumnya Margaretha Makalew dan Lexie Tenda ditetapkan sebagai tersangka setelah adanya Laporan Polisi pada tanggal 4 Desember 2024 dengan Laporan Laporan Polisi Nomor : LP / B / 671 / XII / 2024 / Polda Sulut, tentang dugaan tindak pidana pengerusakan. (*)