LAPORAN : Wailan Montong (Kota Tomohon)
TIDAK ada satu pun insan di dunia yang ingin menjadi korban keganasan virus korona (Covid-19). Seantero dunia saat ini seakan porak-poranda pascavirus jenis baru yang muncul di penghujung 2019 silam. Virus ini tak pandang status, siapa saja berpotensi tertular dan menularkan. Meskipun demikian, dengan adanya pasien sembuh menjadi salah satu sinyal positif sebagai pelecut semangat bagi mereka yang berjuang di tengah pandemi.
Dengan penuh ketabahan hati, salah satu pasien sembuh berbagi pengalaman. Dia adalah Dokter (dr) Christine, salah satu tenaga kesehatan yang terkonfirmasi positif korona dan sempat dirawat di ruang isolasi salah satu rumah sakit. Begitu banyak cerita sejak ia harus masuk bilik isolasi dalam kurun waktu hampir sebulan. “Sewaktu dinyatakan positif Covid-19 pada awal Mei, perasaan sedih, takut, stres. Dan itu saya rasakan selama beberapa hari. Dikurung dengan perawatan medis intensif, kontrol darah rutin, rekam jantung rutin, obat-obatan dengan risiko efek samping menakutkan, harus dijalani. Belum lagi saya pribadi dan keluarga harus menerima stigma negatif dari orang-orang yang tidak mengerti seolah-olah saya dan keluarga adalah penyebar virus, pembawa aib bagi orang lain,” jelas dr Christine saat diwawamcarai KORAN SINDOMANADO/SINDOMANADO.COM, Kamis (4/6/2020).
Dia harus memikul beban moral, walaupun banyak juga yang memberi dukungan yang luara biasa, apalagi saat mengetahui salah satu buah hati sempat terpapar dan akhirnya menjalani isolasi bersama di rumah sakit. “Perasaan sedih, hati hancur dan sempat membuat stres, saat mengetahui putri saya juga harus menyusul terpapar dan kami menjalani isolasi bersama di rumah sakit. Sebagai orang tua pastinya sempat sedih, tapi harus dengan ketekunan dan telaten merawat anak selama di ruang isolasi, sambil memberi support dan edukasi bagaimana menghadapi penyakit ini dan cara hidup sehat. Berpegang teguh bahwa Tuhan pastinya tidak memberikan cobaan di luar kemampuan umat-Nya. Anak saya diberikan imun yang kuat dan akhirnya bisa sembuh lebih cepat dari saya. Intinya kita tidak menyalahkan siapa-siapa, bukan waktunya saling tuduh dan menghakimi, karena kita semua tahu bisa berpotensi menularkan dan ditularkan,” tambah pasien yang dinyatakan sembuh akhir Mei silam ini.
Di tengah badai cobaan yang dialami, diakuinya arus dukungan terus mengalir dari siapa saja. “Dengan keyakinan bahwa Tuhan pasti selamatkan yang membuat bertahan disertai banyak doa dari orang tua, suami, anak, keluarga besar dan para sahabat, membuat saya semakin semangat untuk pulih. Disamping itu, perlakuan para dokter, perawat dan tenaga medis yang merawat kami dengan penuh ketulusan dan menyayangi kami, seperti keluarga sendiri. Saya akhirnya bisa menerima kenyataan dan berdamai dengan diri saya sehingga tidak stres lagi menjalani hari-hari isolasi. Saya berani menyatakan diri sebagai pasien Covid-19 di media sosial dengan harapan dapat melawan stigma yaitu jika ada yang merasa kontak dengan saya bisa memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan, bukan untuk dihakimi. Hal ini yang membuat banyak orang yang mungkin sudah beratatus orang tanpa gejala (OTG) enggan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan karena mereka lebih takut akan stigma negatif daripada Covid-19 itu sendiri sehingga mereka masih bebas berkeliaran tanpa pengetahuan yang benar,” lanjut ibu dua orang anak ini.
Dia juga terus memberi dukungan kepada rekan sejawatnya, para tenaga kesehatan (Nakes) yang sampai saat ini masih ada yang berjuang untuk sembuh. “Sudah banyak tenaga kesehatan yang terinfeksi dengan virus ini, semuanya didapat saat bertugas melayani pasien. Saat pandemi Covid-19 ini, tidak melunturkan semangat menjalankan panggilan melayani pasien yang butuh pertolongan. Nakes tidak takut, kekuatan saya ialah dengan pertolongan Tuhan, saya bisa melayani sesuai panggilan saya,” tegasnya.
Wanita yang sudah 15 tahun bertugas sebagai dokter ini mengatakan bahwa pertama dan terutama yang dilakukan saat dinyatakan sembuh adalah bersyukur atas besarnya anugerah Tuhan. “Yang pertama saya lakukan tentunya adalah mengucap syukur kepada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk sembuh. Setelah pulang dari rumah sakit saya masih harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari sesuai dengan protokol Kemenkes. Selesai isolasi mandiri, saya siap kembali bekerja untuk menolong pasien-pasien saya, berjuang melawan Covid-19 ini,” terang wanita energik ini dengan nada penuh semangat.
Dia mengapresiasi para nakes yang masih berjuang di ruang isolasi, yang telah mengorbankan banyak hal demi keselamatan para pasien. “Banyak nakes yang berbagi cerita mereka semangat dalam tugas melawan Covid-19 dengan nyawa sebagai taruhan, tapi disayangkan para nakes malah menjadi korban stigma negatif masyarakat yang kurang mengerti akan tugas mereka. Keluarga nakes ada yang menjadi koban stigma juga. Tetapi nakes tidak boleh menyerah karena apa pun stigma yang ada di masyarakat, tetap semangat berjuang melawan Covid-19 sambil memperhatikan protokol-protokol yang ada, dan rajin meng-update ilmu dan kajian-kajian tentang Covid-19,” harap wanita berusia 41 tahun ini. (*)
Tinggalkan Balasan