MANADO— Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia telah berdampak pada semua sektor, baik ekonomi, sosial maupun budaya. Bukan hanya itu, kasus terkait Covid-19 di Sulawesi Utara (Sulut) pun telah berdampak pada psikologis masyarakat.

Apalagi dengan kenyataan bahwa pasien terkait Covid-19 yang meninggal, baik masih status pasien dalam pengawasan (PDP) maupun terkonfirmasi positif, harus dimakamkan dengan protokol kesehatan.

Hingga Minggu (22/6/2020) sebanyak 214 warga Sulut yang dimakamkan menggunakan protokol kesehatan. Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara (Jubir) Gugus Tugas Covid-19 Sulut, dr Steaven Dandel. Dia merinci bahwa dari 214 orang tersebut, 145 diantaranya merupakan pasien dalam pengawasan (PDP) dan 69 orang lainnya merupakan pasien yang telah terkonfirmasi positif tertular Covid-19.

“Ini berkaitan dengan indikator keempat (Terkait penilaian resiko kesehatan masyarakat) yakni penurunan jumlah meninggal dari kasus PDP selama dua minggu terkakhir. Datanya dari 4 Mei sampai dengan 14 Juni total ada 145 PDP,” ujarnya saat konferensi video bersama wartawan.

Kata Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkesda Sulut itu, data total PDP yang meninggal tersebut akan terus bertambah seiring masuknya data 15 Juni hingga 21 Juni yang akan diakumulasikan pada hari ini (Senin, 22 Juni).

“Karena itu nanti akan jadi tren yang akan kami ukur setiap minggu sesuai indeks resiko (Kesehatan masyarakat) ini. Sehingga total orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 berdasarkan data ini, jadi kalau 69 yang positif (Covid-19) ditambah 145, ada sekira 214 orang,” jelas Dandel.

Sementara itu, Ketua BPC Perhumas Manado Gladys Runtukahu mengatakan, kenyataan yang dihadapi saat ini memang sulit untuk diterima. “Pandemi ini memang telah berdampak pada psikologis masyarakat. Apalagi berkaitan dengan sosial budaya. Kenyataan pemakaman dengan protokol kesehatan, memang sangat berat bagi keluarga, namun ada solusi agar nilai-nilai budaya dan sosial kita tidak hilang,” jelasnya.

Kata dia, penting sekali peran serta tokoh agama, organisasi agama dan juga pemerintah. “Keterbatasan yang kita alami ini harus juga punya solusi. Dimakamkan dengan protokol kesehatan bukanlah aib atau karma,” ujarnya.

Karena itu, kata dia, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi maupun ide kreatif lainnya, diharapkan pemerintah dan organisasi agama tetap menjalankan nilai-nilai budaya atau kebiasaan yang sering dilakukan saat kedukaan. “Meskipun jenazah sudah dimakamkan, namun penghiburan terhadap keluarga atau ibadah, harus tetap kita lakukan dan upayakan. Dengan imbauan jaga jarak, kita bisa memanfaatkan live streaming di media sosial, bisa memanfaatkan pengeras suara atau hal lainnya. Supaya keluarga yang mengalami duka ditinggalkan anggota keluarga dan kemudian kenyataan harus dimakamkan dengan protokol kesehatan, tidak merasa ditinggalkan,” ucapnya. (Fernando Rumetor)