MANADO– Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang tengah diterapkan sebagai dampak pandemi Covid-19 menyimpan satu persoalan tersembunyi yang bisa berakibat serius. Apa itu? terjebak kejahatan dunia maya. Karena itu, diharapkan orang tua (Ortu) di Sulawesi Utara (Sulut) untuk tidak lengah, namun harus terus mengawasi anak-anak.

Pengamat Hukum, Toar Palilingan menuturkan, akibat PJJ juga berpotensi menimbulkan persoalan lain. “Kalau ada anak pegang gadget, ya sangat berpotensi kalau tidak diawasi. Jadi peluang itu (kejahatan cyber pada anak) swaktu-waktu terbuka, di luar soal pembelajaran virtual, kalau pengawasan dari orang dewasa atau orang tua terhadap anak tidak ada,” ungkapnya kepada KORAN SINDO MANADO/SINDOMANADO.COM, belum lama ini.

Dosen pengajar di Fakultas Hukum Unsrat itu juga menilai bahwa peran orang yang lebih tua, seperti kakak maupun orang tua dari anak tersebut, dirasa sangat penting, terutama peran mereka dalam mengawasi anak-anak yang menggunakan gadget untuk melaksanakan PJJ ini.

“Apalagi yang menyamar begitu, ingin berteman, padahal dia pakai akun palsu, sehingga bisa timbul kejahatan itu. Biasanya yang korban (Kejahatan cyber pada anak) itu akibat lalai dari orang yang lebih dewasa didalam rumah, kakak atau orang tua, untuk melakukan pengawasan,” jelasnya.

Pasalnya, tak hanya berpotensi terjadinya kejahatan cyber pada anak saja, namun pemberian keleluasaan pada anak tanpa adanya pengawasan, kata Toar, tanpa sadar juga dapat membuat anak-anak mengakses situs-situs yang bisa mengganggu moralitas anak. “Sangat-sangat berpeluang, itu akan mempengaruhi juga karakter, mental anak. Ini kan sekarang buka Facebook juga masuk itu, situs-situs yang aneh-aneh itu, pornolah, kekerasan,” ungkapnya.

Sehingga yang terpenting yang harus dilakukan ialah pengawasan secara ketat kepada anak-anak. “Kejahatan itu karena adanya kelalaian, jadi pengawasan itu sangat-sangat diperlukan, apalagi sekarang kan harus dikasih kuota (internet) mereka untuk sekolah jarak jauh, jangan disalah gunakan itu,” tukas Palilingan.

Ilmuwan Psikologi Preysi Siby juga tak menampik adanya potensi tersebut karena anak makin sering menggunakan smartphone, internet dan berada di rumah. “Membuat keinginan menurunkan stres dengan bermain medsos yang membuat keinginan untuk mencoba banyak hal sampai pada kejahatan cyber pada anak di saat masa adaptasi kebiasaan baru ditengah pendemi Covid-19

ini,” bebernya. Selain itu, kata Preysi, kejahatan cyber yang dilakukan seseorang kepada anak dapat disebabkan karena lemahnya kondisi psikologis seseorang, terutama karena lemahnya kontrol diri yang ada.

“Biasanya pelaku cenderung orang yang memiliki masalah dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosialnya, ataupun faktor tingkat pendidikan, sering nonton video porno, dan sebagainya,” terang Bendahara Pengurus Pusat (PP) Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) itu.

Disamping itu, ucapnya, kejahatan yang terjadi dapat menimbulkan trauma kepada anak-anak, seperti kehilangan kepercayaan diri, malu, dan hal-hal lainnya yang dapat dirasakan oleh anak-anak. “Dukungan lintas sektor, baik itu keluarga, masyarakat sekitar, hingga pemerintah sangat diperlukan. Misalnya pendidikan seks, sampai pendidikan ketahanan keluarga,” terangnya.

Peringatan akan potensi tersebut juga disampaikan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Menurut dia, kondisi ini terjadi karena ruang publik anak-anak nyaris tersedot habis ke dalam rimba raya virtual. Di sisi lain, orang tua atau guru tidak selamanya bisa mengawasi.

Mantan kepala sekolah ini mengungkapkan, selama pandemi Covid-19 ini KPAI menerima beberapa pengaduan cyber  bully  (perundungan) oleh teman sekolah korban. Selain perundungan siber, bentuk kejahatan lain yang patut diwaspadai adalah kejahatan seksual dan penipuan.

\Karena itu, dia mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengantisipasi dan mengawasi agar jangan sampai anak-anak menjadi korban kejahatan siber. ‘’Di sinilah peran orang tua untuk mendampingi dan mengawasi anak-anaknya dalam mengakses internet menjadi penting dan sangat diperlukan,” ujar dia.

Retno menuturkan,  akses internet yang meningkat selama pembelajaran daring juga membuat anak mudah menumpahkan kegalauannya melalui media sosialnya. Padahal, perilaku tersebut memiliki potensi bahaya yang tinggi baginya karena  bisa ditangkap oleh para predator anak di dunia maya, sehingga anak terancam mengalami eksploitasi seksual.

Kondisi tersebut kian rentan karena peran orang tua mengawasi anak secara langsung sangat terbatas ketika mereka mulai keluar rumah untuk bekerja. Oleh karena itu diperlukan kerja sama guru dan orang tua untuk mengedukasi dan membantu anak mengakses internet dengan benar.

Selain itu, negara dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika,  perlu memperkuat  sistem perlindungan bisa dilakukan negara untuk melindungi anak dari kejahatan dunia maya, termasuk memblokir  situs berkonten pornografi dan kekerasan.

‘’Namun, pintu utamanya adalah tetap pengawasan orang tua. Apalagi, anak-anak saat ini sedang berada di rumah karena sekolah belum dibuka. Orang tua yang harus mengawasi dan membuat aturan main dengan anak-anaknya terkait penggunaan gadget  dan internet,” tandasnya.

Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Jumeri mengatakan, untuk menyukseskan PJJ-termasuk melindungi anak dari dampak negatifnya, maka keterlibatan orang tua dan masyarakat sangat dibutuhkan.

‘’Pada saat anak belajar dari rumah karena pandemi Covid-19 ini, orang tua dan masyarakat harus mengambil peran dalam membimbing dan mengarahkan anak untuk bisa berselancar di dunia maya dengan aman,’’ katanya.

Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengatakan, akses internet sudah menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa. Untuk pengawasan, dia menyebutkan Kemenkominfo sudah mempunyai program Internet Sehat. “Namun menurut hemat saya, benteng utama untuk memilih akses situs yang sehat ada di diri mahasiswa sendiri sebagai warga negara yang dewasa dan bertanggung jawab,” ujarnya.

Guru Besar Universitas Gajah Mada ini juga meminta tugas dosen dan para pendidik selalu mengingatkan mahasiswanya. Selain itu, juga harus mengarahkan untuk menjadikan internet sebagai sumber ilmu dan  informasi yang berguna.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menandaskan,  untuk menjaga anak-anak dari kejahatan dunia maya, sebenarnya sekarang kontrol pemerintah untuk konten-konten yang kurang baik di dunia maya seperti pornografi sudah cukup baik dengan adanya internet positif.   Kendati demikian, politikus Golongan Karya ini melihat pelaku tidak pernah kehabisan akal untuk melakukan kejahatan, seperti dengan memakai VPN.

“Untuk anak, kuncinya adalah di orang tua untuk selalu memberikan pengawasan saat anak menggunakan gawai. Mungkin tidak mungkin secara 24 jam dilihat, tapi bisa dikontrol dengan misalnya mengecek histori dan lain-lain,” saran dia. Sementara itu, psikolog Rosdiana Setyaningrum sepakat perlunya pengawasan anak dari ancaman kejahatan siber selama PJJ berlangsung.  Salah satu yang rentan terjadi adalah perundungan siber. “Bisa dari verbal seperti ngata-ngatain  dan kekerasan seksual. Bisa aggregation  relationship  kaya teman mem-bully  satu anak atau anaknya dalam pembelajaran jarak jauh mempunyai pacar anak SMA. Dia mengalami  bully  oleh pacarnya,” ucapnya.

Dia memaparkan, media yang digunakan dalam perundungan daring yakni tulisan, gambar, dan  voice note . Menurut dia, setiap terjadi perundungan harus dilihat dari kedua belah pihak, pelaku dan korban. Biasanya anak-anak yang melakukan perundungan itu mempunyai masalah dengan kepercayaan diri.

“Baik pelaku maupun korban memiliki kepercayaan yang kurang baik. Cuma, mereka mengeluarkan dengan cara yang berbeda. Jadi yang satu dengan  pede  mengambil jalan ekstrem ke sebelah dengan mem-bully  orang lain biar kelihatan keren. Yang satu karena enggak pede , enggak berani melawan,” tuturnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut,  sekolah dan orang tua harus bekerja sama dengan baik. Setiap menemukan perundungan, orang tua harus melapor ke sekolah. “Sekolah harus bertindak karena terjadi dalam jam sekolah walau (belajar) di rumah. Sekolah berani negur, ada hukuman, sekolah kan mempunyai aturan,” katanya. (Fernando Rumetor/Koran Sindo)