MANADO- Aparatur Sipil Negara (ASN) diwajibkan bersikap netral menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Sayangnya, kenyataan di lapangan justru kalangan ASN di Sulawesi Utara (Sulut) mulai ‘panas’ menghadapi Pilkada 9 Desember nanti.

Sanksi yang ada belum cukup efektif untuk membuat ASN jera terlibat politik praktis. Pemerintah perlu segera menerbitkan aturan yang lebih tegas untuk mencegah ASN terlibat dukung mendukung calon.

Kasus ASN tidak netral juga marak menjelang pilkada serentak kali ini. Hingga akhir Juli 2020, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sudah menerima 456 aduan soal PNS yang tidak netral. Dari jumlah tersebut, sebanyak 344 ASN dinilai terbukti melanggar sehingga direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi.
Namun, kendati terbukti bersalah sanksi tidak mudah diterapkan. Salah satu sebabnya adalah konflik kepentingan. Kewenangan menjatuhkan sanksi ada pada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang juga kepala daerah. Diduga, sanksi tidak diberikan jika ASN bersangkutan adalah pendukung sang bupati, wali kota, atau gubernur.

Data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukkan dari 334 rekomendasi sanksi kepada PPK, yang ditindaklanjuti dengan menjatuhkan sanksi baru 189 ASN. Simpul permasalahan pelanggaran netralitas adalah respons PPK yang dinilai lambat. Bahkan, tak jarang PPK enggan menindaklanjuti rekomendasi sanksi yang dikeluarkan KASN.
Karena itu, langkah pemerintah menyusun surat keputusan bersama (SKB) lima kementerian/lembaga terkait pedoman pengawasan netralitas ASN di Pilkada 2020 disambut baik. SKB lima kementerian/ lembaga ini rencananya akan ditandatgani dalam waktu dekat. SKB ini melibatkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KASN.

Salah satu hal yang diatur dalam SKB tersebut adalah pemblokiran data kepegawaian bagi ASN terbukti yang melanggar netralitas tapi tidak disanksi oleh PPK. Pemblokiran akan terus dilakukan sampai ASN bersangkutan dijatuhi sanksi sesuai rekomendasi KASN.
“Mereka yang datanya sudah diblokir atau dibekukan tidak akan bisa dimutasi, tidak mendapatkan gaji, sebelum adanya tindak lanjut dari Kemenpan RB dan Kemendagri,” ujar Komisioner KASN Arie Budhiman dalam sebuah diskusi daring.

Adanya ASN yang mulai menunjukkan sikap yang tak netral jelang Pilkada serentak akhir tahun ini tak ditampik oleh Pengamat Pemerintahan Sulut, Very Londa. Secara pribadi, dirinya menilai baik ASN yang ada di Pemprov Sulut, maupun ASN di kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada, kelihatan netralitasnya mulai pudar. “Ini kalau saya lihat, disebabkan karena faktor-faktor birokrasi yang masih tertanam pada gaya kerja birokrat, patuh kepada atasan,” bebernya seraya memberikan contoh adanya calon incumbent atau petahana, maupun mereka yang memiliki hubungan keluarga dengan pimpinan daerah yang masih menjabat, kemudian digadang-gadang bertarung dalam pemilihan ini.

“Kota Manado, Wali Kota memang tidak, tapi istrinya maju, Wakil Wali Kota juga maju. Kemudian Minut, betul ibu Vonny tidak maju lagi, akan tetapi anaknya. Bitung juga demikian. Lalu Minsel, memang betul ibu Tetty tidak masuk, tapi adiknya toh. Kemudian Bolsel, incumbent maju. Boltim, memang bupatinya tidak, akan tetapi digadang-gadang anaknya toh,” ungkap Very.
Untuk mengatasi adanya ketidaknetralan ASN, kata Londa, harusnya para pemimpin yang sementara menjabat, mempunyai political will (keinginan politik) yang mau sekalipun mereka akan bertarung, atau keluarga mereka yang akan bertarung, harusnya dari diri mereka sebagai seorang pemimpin, mampu untuk memberikan penjelasan dan memerintahkan beberapa institusi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan.

“Kalau bisa memperkuat ranah, dalam hal ini inspektorat, untuk melakukan pengawasan (Kepada ASN). Tugasnya Inspektorat untuk memainkan peran bersama dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Dua institusi di dalam ini yang harus diperintahkan oleh pimpinan daerah untuk melaksanakan fungsi pengawasan itu, dan pembinaan,” jelas Koordinator Program Studi Administrasi Negara Fispol Unsrat ini, Selasa .

Selain dari kedua institusi itu, yang harus berperan aktif juga, menurut Londa, adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Akan tetapi, Bawaslu dilihatnya belum bisa berbuat banyak, karena terhalang aturan, sebab saat ini belum ada penetapan pasangan calon (Paslon).

“Kondisi-kondisi seperti ini menjadi sesuatu yang dilematis bagi Bawaslu untuk bersikap dan bertindak. Misalnya mereka ingin bertindak untuk birokrat provinsi, sementara kan Gubernur masih bakal calon, itupun masih diinternal partai. Tindakan-tindakan untuk melangkah ke hal yang lebih, ini masih sulit, payung hukum yang dapat dipegang untuk melaksanakan fungsi pengawasan, ” pungkas Akademisi Unsrat itu.

Oleh sebab itu, seperti yang disampaikannya, langkah paling bijak ialah dari para pemimpin itu sendiri, untuk berani secara terbuka, sekalipun dirinya yang mencalonkan, atau keluarga yang lainnya. Pemimpin harus berani menunjukan kepada semua orang sebagai pembelajaran politik, dan mengatakan kepada para ASN agar bersikap netral.

Di samping itu juga, beber anggota Senat Unsrat ini, dari para ASN sendiri juga harusnya menyadari dengan posisi yang ada, sekalipun atasan mereka nantinya akan kembali mencalonkan diri. “Kembali juga ke orangnya, mau netral dengan keadaan, atau kita jadi tipikal penjilat,” tuturnya. Sebab ASN yang bermain di ranah politik seperti ini, sama dengan ‘mencari muka’, dan kemudian ketika atasan mereka terpilih, mereka bisa mendapatkan posisi tertentu. “Harus ada diskusi secara terbuka antara KPU, Bawaslu, termasuk dengan Pemerintah Daerah yang ada, untuk menyikapi apa yang harus dilakukan, sebelum ada penetapan paslon,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Politik dan Pemerintahan Sulut Taufik Tumbelaka mengatakan, dalam pilkada ada penyelenggara pemilihan, ada aturan hukum dalam berkampanye ada juga aturan khusus bagi TNI/Polri dan ASN. “Kalau terkait politik praktis jika dilakukan ASN dalam akun medsosnya sudah jelas itu sebuah pelanggaran. Yang menjadi pertanyaan saat ini apakah KPU sudah menetapkan pasangan calon (paslon) baik di pemilihan gubernur (pilgub), pemilihan wali kota (pilwako) dan pemilihan bupati (pilbup). Intinya, semua ASN bisa menghargai aturan yang ada,” terang dia, saat dihubungi KORAN SINDO MANADO, kemarin.

Lanjut Tumbelaka, terjebaknya sejumlah ASN dalam pusaran dinamika politik pilkada tidak terlepas dari sejarah politik masa lalu, khususnya di era rezim Soeharto (Orde Baru).
“Pada masa rezim Soeharto berkuasa ada tiga pilar utama kekuatan yaitu ABRI (TNI dan Polri), birokrasi dan Golkar. Biasa disingkat ABG. Oleh karenanya di masa itu birokrasi digemukan karena dijadikan mesin politik,” bebernya.

Pascareformasi, sambung Tumbelaka, ABRI melakukan reformasi sehingga menjauh dari kekuasaan, sedangkan Golkar sudah bergeser menjadi Partai Golkar (PG). Sedangkan birokrat belum sepenuhnya dikarenakan masih mempunyai hak memilih walaupun masuk kategori aparat negara. Hal ini membuat kekurang netralan.

“Ada juga hal lain, yaitu ada sejumlah oknum elit politik masih menggunakan pola rezim Soeharto yang memaksa ASN masuk dalam pusaran politik dan tidak sedikit oknum ASN, khususnya dari kalangan pejabat memang cenderung senang masuk wilayah politik praktis dikarenakan bagian dari upaya cari perhatian sang pemimpin,” pungkasnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menyebut rancangan SKB lima kementerian/lembaga saat ini sedang dimatangkan. SKB itu mengatur secara detail soal pengawasan netralitas ASN, termasuk cara penanganannya. “Khususnya atas dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020. Ini yang harus dipertegas tanpa pandang bulu, harus diberikan sanksi. Kalau perlu diberhentikan, kalau perlu turun jabatan,” katanya pada seminar daring tentang netralitas ASN, kemarin.
Dia mengatakan untuk ASN yang melanggar tidak cukup hanya diberikan sanksi teguran. Sanksi bisa berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat dan penurunan pangkat lebih rendah. Sanksi bisa hingga yang terberat yakni pemberhentian tidak dengan hormat.
Tjahjo menyebut sanksi tidak hanya akan diberikan kepada ASN tapi juga kepala daerah sebagai PPK jika ditemukan tidak menjalankan rekomendasi sanksi dari KASN.

Sanksi bisa berupa dari yang ringan seperti teguran lisan, teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat atau golongan, hingga pencabutan kewenangan sebagai PPK. Terakhir bisa diberhentikan sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Soal penyebab ASN tidak netral, Tjahjo Kumolo setuju karena lemahnya sanksi. Meskipun diakui ada juga banyak penyebab lainnya.
“Ketidaknetralan ASN masih dianggap hal lumrah seperti masa lalu. Kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral, dan intervensi dari pimpinan atau atasan,” ujarnya.
Ketidaknetralan juga dipicu kurangnya pemahaman atas regulasi tentang netralitas ASN. Namun yang paling sering adalah adanya motif mengejar atau mempertahankan jabatan, terutama ingin menjadi kepala dinas. Dia mengingatkan agar ASN tetap menjaga netralitasnya pada pilkada kali ini. “Berbondong-bondong jadi tim sukses karena berharap kalau menang dapat jabatan. Ini sesuatu yang harus dihindari,” ungkapnya.
Pernyataan Tjahjo ini selaras dengan hasil survei KASN pada 2018. Faktor terbesar ASN tidak netral karena ingin mendapatkan jabatan atau proyek mencapai 43,4%. Lalu motif mendukung calon karena faktor kekeluargaan atau kekerabatan mencapai 15,4%. Sedangkan ASN yang tidak netral karena tidak tahu itu bentuk pelanggaran sebanyak 12,1%. Kasus ASN tidak netral karena tekanan pimpionan atasan sebesar 7,7%. Sementara alasan tidak netral karena minimnya integritas 5,5%, dan menganggap tidak netral hal yang wajar 4,9%.

Potensi ASN tidak netral tetap tinggi di pilkada mendatang lantaran sebagian besar kepala daerah yang saat ini menjabat ingin maju lagi untuk kedua kalinya. Menjadi rahasia umum petahana sering menggunakan ASN sebagai mesin politik untuk menggalang dukungan.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, dari 270 daerah yang menggelar pilkada pada 9 Desember 2020, 224 daerah di antaranya diikuti oleh petahana. Hal ini diakui sangat rentan terjadi penyalahgunaan kewenangan.
“Pemetaan kami dari 270 daerah yang potensi terdapat calon petahana ada 224. Nanti kita lihat setelah 23 September setelah tahap pencalonan, apakah betul (petahana) semua maju,” ungkapnya pada webinar yang sama kemarin.

Abhan juga mengingatkan kondisi yang lebih buruk soal netralitas ASN ini jika petahana berseberangan dengan wakilnya. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang saling berhadapan di pilkada akan memecah ASN ke dalam dua kutub.

“Apalagi kalau di daerah incumbent pecah kongsi. Kemudian ditambah sekdanya yang hampir pensiun mencalonkan diri juga. Karena itu ASN harus betul-betul teguh menjaga netralitasnya,” pungkasnya. (Fernando Rumetor/Valentino Warouw)