MANADO– Berkaca dari bencana banjir yang terjadi setiap tahun di Kota Manado, pemerintah dan masyarakat perlu berbenah. Apalagi, banjir Rob di kawasan bisnis Kota Manado pada Minggu (17/1/2021) yang menyeret banyak sampah, setidaknya menimbulkan rasa malu. Saatnya mengubah gaya hidup yang lebih disiplin dan mencintai lingkungan. Lihat saja, badan jalan di kawasan bisnis Megamas dan Manado Town Square (Mantos) dipenuhi sampah dan bebatuan. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Sulut Theo Runtuwene, mengkritik pemerintah tak mampu mengantisipasi banjir.
“Pemerintah abai dalam mengatasi masalah banjir karena dari tahun 2014 seharusnya berkaca yang dimana ada sekira 19 orang yang meninggal, ribuan rumah porak-poranda serta kerugian yang mencapai Rp1,8 triliun dan itu seharusnya menjadi catatan penting untuk dijadikan evaluasi,” tegasnya. Karena menurutnya, ini berbicara soal nyawa tidak hanya bicara soal kerugian materil serta bagaimana jaminan dari pemerintah provinsi dan kota untuk menyelesaikan ancaman yang luar biasa ini. “Letak Kota Manado ini berada di bawah sedangkan daerah resapan air yang berada di gunung kebanyakan sudah dijadikan perumahan. Jadi bagaimana mengantisipasi hal itu? Apakah ada penghijauan atau solusi lain dan hal ini harus dipikirkan oleh pemerintah bukan masyarakat,” jelas Theo.
Sementara terkait banyaknya sampah yang ikut terhempas ke kawasan Bouleverd dan sekitarnya akibat air pasang, aktivis lingkungan hidup Hanny Kandou menyoroti kebiasaan orang Manado dan sekitarnya yang masih membuang sampah di laut dan di sungai. “Sampah tersebut didominasi dari sampah plastik dan rumah tangga, itu artinya kebiasaan membuang limbah dan sampah di kuala dan laut masih masif khususnya di ibukota hal ini terlihat dari banyaknya sampah dari laut yang ikut terbawa arus kembali ke daratan akibat banjir Rob,” ungkap dia.
Kandou mengimbau agar sosialisasi bahaya membuang sampah di laut dan dampaknya terhadap ekosistem harus lebih di galakan oleh pihak yang berkompeten. “Selama ini kami aktivis terus melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait dampak ekosistem akibat buang sampah sembarangan, dengan slogan Malo Buang Sampah”, lanjut Kandou. Dia berharap dengan adanya kejadian ini seluruh masyarakat dapat lebih sadar akan pentingnya memelihara lingkungan dengan hal sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya. “Semoga kejadian ini membuka mata masyarakat akan pentingnya ekosistem laut, dan tidak membuang sampah di sungai dan di laut”, pungkasnya.
Ketua BPC Perhumas Manado, Gladys Runtukahu berharap bencana banjir tak lagi terjadi. Dia menilai pemerintah harus berani mengambil sikap membuat aturan-aturan demi kesestarian lingkungan hidup. Dengan begitu, kata dia, pola kebiasaan masyarakat juga akan berubah. “Ya, setidaknya pemerintah juga konsen dengan lingkungan. Tegas soal mengurangi sampah plastik. Pemerintah harus menjadi contoh. Setiap acara dan kegiatan kurangi sampah. Buat aturan tegas soal sampah, sehingga masyarakat pun akan mengikuti,” ujarnya. Kata Runtukahu, pemerintah jangan acuh lingkungan. “Jangan berhenti mengingatkan masyarakat soal kebersihan, soal keteraturan, soal kedisiplinan,” ucapnya.
Adapun, pantauan wartawan KORAN SINDO MANADO kemarin sore, terlihat sampah-sampah yang berserakan di bibir pantai Boulevard II, Kelurahan Sindulang Dua, Kecamatan Tuminting belum juga dibersihkan oleh pihak-pihak terkait, baik dari Pemerintah Kota Manado, maupun pemerintah kelurahan setempat. Menurut penuturan warga sekitar yang namanya tak ingin disebutkan, sebenarnya pada Senin pagi sudah ada pembersihan yang dilakukan oleh para kepala-kepala lingkungan, tetapi hanya sebatas pada sampah yang terbawa banjir Rob kemudian bertebaran di jalan Boulevard II.
“Mereka para pala tadi mengatakan untuk yang sampah-sampah di bibir pantai nanti akan dibersihkan seminggu lagi, karena katanya ombak-ombak ini masih terus ada, jadi ditunggu sekalian baru dibersihkan,” kata perempuan paruh baya yang di temui sedang membersihkan perabotan rumah tangga di depan rumahnya. Ia pun mengatakan bahwa sebelum adanya banjir Rob atau banjir air laut, bibir pantai ini bersih dan tidak banyak sampah seperti Senin kemarin. Dirinya menduga bahwa sampah-sampah itu terbawa oleh ombak yang menghantam pada hari Minggu malam itu.
“(Sampah-sampah ini) saya duga dari sungai dia ini. Dari sungai terus kelaut, dan kemudian terbawa ombak ke bibir pantai ini,” sebutnya seraya menambahkan juga bahwa sebelum terjadi banjir rob, ada pasir-pasir yang menutupi batu-batuan di sepanjang pinggir pantai. “Namun karena ombak, dia tersapu ini, pasir-pasir ini jadi ke bibir pantai, juga seperti batu-batu ini dia nampak tak beraturan lagi. Padahal, sebelum ada ombak, pasir-pasir ini menutupi batu yang ada,” cerita dia.
Sembari bercerita dengan narasumber, wartawan koran ini juga dihampiri beberapa warga sekitar yang menuturkan bahwa memang setiap tahunnya mendekati perayaan Imlek, selalu terjadi ombak pasang air laut yang tinggi. Namun memang, pada tahun ini lebih tinggi daripada biasanya. “Memang ombaknya tidak sampai terlewat pembatas antara jalan dengan pantai ini. Hanya dia ‘tapancar’ saja,” ucapnya seraya menyampaikan bahwa perahu-perahu nelayan di daerah Boulevard II masih aman dan tak terdampak. “Karena perahu-perahu ini untungnya diparkir di trotoar, tidak di pantai. Kalau di pantai pasti sudah tersapu ombak ini,” ucapnya. Memang dari pantauan, terlihat perahu-perahu nelayan berjejer rapih di dudukannya. Beruntung memang mereka tak memarkirnya di pantai.
Sebab, seperti yang terjadi pada perahu-perahu nelayan di daerah kawasan Megamas Manado, banyak yang tersapu ombak hingga ke jalanan Megamas karena hanya sekadar di parkir di lautan lepas saja. Kerusakan perahu pun tak terhindarkan. Padahal para nelayan telah lama diterpa dampak pandemi Covid-19. (Deidy Wuisan/Fernando Rumetor)
Tinggalkan Balasan