MANADO – Harga rica so lebe pidis (Harga cabai rawit sudah semakin “pedas”) di Sulawesi Utara (Sulut). Setelah dua pekan lalu sudah turun di angka Rp70.000 per kilogram (Kg), kini harga bumbu masak ini menembus Rp140.000 per kg di beberapa pasar tradisional.
Pengamat Ekonomi Sulut, Robert Winerungan menuturkan bahwa sebenarnya harga ini sudah bisa diprediksi dari bulan-bulan lalu ketika harga sudah mulai merangkak naik akibat dari musim hujan. Produksi yang kurang pun menjadi penyebab harga melonjak. “Harusnya pihak-pihak terkait sudah memantau bagaimana produksi tanaman cabai di Sulut. Apakah di tingkat produsen ini cabai rawit merah ini ada atau tidak. Kalau dulu kan harga cabai selalu dijaga karena menjadi penyebab inflasi daerah,” paparnya.
Menurutnya, kenaikan ini menjadi cerminan kegagalan pemerintah melalui dinasi-dinas terkait dalam memantau ketersediaan cabai rawit di tingkat produsen. “Kalau dikatakan mau diimbau agar tidak jual ke luar daerah, pasti petani itu menjual ke daerah yang harganya lebih mahal. Tidak mungkin pemerintah bisa menghalau penjualan ke luar daerah ini,” tukasnya.
Lanjut dikatakan Winerungan, hal yang salah ialah kenapa pemerintah tidak mengkondisikan untuk menambah produksi cabai rawit merah lewat penanaman cabai rawit yang lebih masif lagi menjelang musim hujan. Sebab, prediksi musim hujan kan sudah dikeluarkan BMKG, dan memang kita ketahui musim hujan berpanjangan selalu di awal tahun.
“Dulu ada kampanye tanam cabai rawit di Minahasa sekian hektare. Di tempat lain juga. Lalu sekarang mana kegiatan-kegiatan itu? Karena cabai rawit merah ini kan tidak mungkin tanam sekarang besok panen. Harus 2-3 bulan. Makanya seharusnya dari akhir tahun lalu sudah ancang-ancang memperbanyak menanam cabai rawit merah,” sebut Winerungan.
Ekonom dari Universitas Negeri Manado (Unima) itu pun menyampaikan bahwa pihak terkait pun harus melihat juga tempat-tempat para penyalur dan pemasok cabai rawit merah. Jangan-jangan ada penimbunan yang dilakukan oleh pedagang perantara sebelum disalurkan dan dijual ke Pasar.
“Jangan sampai kekurangan suplai dipermainkan oleh pedagang perantara. Saya yakin ada juga permainan pedagang untuk menahan stok, untuk tidak terlalu mencurah cabai rawit merah di Pasar. Pihak terkait harus mengecek di gudang-gudang jangan sampai ada yang menahan stok yang mengakibatkan harga naik,” imbuh Winerungan.
“Suatu saat mereka akan rugi juga, tetapi sekarang mereka tahan stoknya agar harga di Pasar menjadi naik. Jadi langkah sekarang yang bisa diambil adalah apabila ada harga yang lebih murah di luar daerah, maka pemerintah bisa mengimpor dari daerah tersebut. Saya yakin di daerah-daerah lain masih ada yang lebih murah daripada di Sulut,” kata dia.
Untuk jangka panjangnya, maka Dinas Pertanian dan Peternakan mutlak harus memantau produksi cabai rawit merah. “Supaya stoknya ada. Sekalipun harganya murah, tetap Petani harus digenjot untuk menanam. Dan saat harga tinggi, pemerintah harus campur tangan untuk membeli dari Petani supaya mereka mau menanam lagi,” kuncinya.
Berdasarkan pantauan KORAN SINDO MANADO di pasar tradisional Kota Manado, harga juga memang mengalami kenaikan signifikan. “Harga per kilogramnya ini sudah sampai Rp140.000. Ada yang jual harga begitu, tapi kalau di saya Rp120.000 per kilogram,” ujar seorang pedagang di Pasar Pinasungkulan Karombasan yang namanya tak ingin dipublikasi, Selasa (30/3/2021).
Senada diutarakan beberapa pedagang di Pasar Bersehati. Mereka menyebut bahwa harga cabai rawit merah melambung tinggi karena stok yang sedikit. “Padahal akhir pekan lalu kami masih menjual di harga Rp 100.000 per kg. Sekarang sudah Rp 120.000 per kg,” papar salah satu pedagang di Pasar Bersehati.
Kebanyakan stok cabai rawit merah yang ada di pasar tersebut berasal dari Gorontalo. Suplai cabai rawit merah dari Gorontalo pun masuk juga ke Pasar Segar Paal Dua. Di sana, pedagang menjual salah satu bumbu masak andalan ini dengan kisaran Rp110.000 sampai dengan Rp120.000 per kilogramnya.
Menanggapi adanya kondisi ini, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Sulut Edwin Kindangen melalui Kepala Bidang (Kabid) Perdagangan Luar Negeri Disperindag Sulut, Ronny Erungan mensinyalir bahwa adanya kenaikan karena jumlah panen yang sedikit.
“Produksi cabai rawit merahnya rendah sehingga ada kenaikan harga. Saya cek juga di luar daerah juga tinggi. Malah di Jakarta harganya Rp127.000 untuk cabai yang sebenarnya untuk kita itu ukurannya besar,” tandasnya saat dikonfirmasi wartawan.
“Di Makassar itu Rp75.000, tetapi itu cabai yang besar, yang tidak diminati oleh warga Sulut. Jadi kesimpulannya secara nasional itu cabai sedang mahal. Artinya apa? artinya ketersediaan jumlah panen, luasan panen, produksi rendah,” tambah Erungan.
Lebih lanjut dikatakannya, pihak Disperindag Sulut mengimbau kepada para pemasok cabai rawit merah agar jangan sampai memasok cabai rawit ke luar daerah. “Kalau ada yang diperjualbelikan ke luar daerah, maka harga akan lebih naik,” papar Erungan.
Pihaknya pun tidak bisa mengambil suplai cabai rawit merah dari luar daerah karena harga-harga cabai rawit merah ini masih relatif mahal, bahkan lebih mahal dibandingkan dengan harga yang ada di Sulut ini, juga produksi cabai rawit merah yang rendah.
“Melihat memang ini masalah nasional, makanya kita tidak bisa membuat aksi beli dari luar daerah karena harganya juga sama mahal. Pasokan dari daerah juga terbatas. Yang diharapkan panen di akhir maret agar harga membaik, tetapi ternyata juga tidak seperti yang diharapkan,” jelas Erungan.
“Satu-satunya untuk mecegah harga lebih naik lagi ya membatasi penjualan cabai rawit merah ke luar daerah. Jadi kita imbau kepada pedagang, terutama pedagang antar pulau agar jangan dulu menjual cabai rawit merah ke luar daerah. Itu salah satu solusi jangka pendeknya,” sambungnya.
Dari penelusuran yang ada di sentra-sentra cabai rawit merah di Sulut sendiri, memang hasil panennya tidak sesuai harapan. “Contohnya sentra yang di Motoling itu sama sekali tidak ada panen, mereka baru mulai menanam. Di Remboken sudah mulai panen, tapi berapa banyak produksi di Remboken? tidak akan cukup untuk kebutuhan Sulut,” jelasnya.
Ada juga sentra cabai rawit merah di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), tetapi hasilnya juga tidak maksimal. “Kita sebenarnya memang sangat tergantung dari produksi cabai rawit merah di Gorontalo. Tapi harga cabai rawit merah di Gorontalo juga mahal, jadi yang masuk di Sulut juga pasokannya terbatas,” ujar Erungan.
Terkait produksi cabai rawit yang tak maksimal, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut, Novly Wowiling menyebutkan bahwa hal ini disebabkan karena curah hujan yang tinggi. Hal ini, kata dia, berpengaruh terhadap cabai rawit merah yang rawan terserang hama penyakit.
“Itu yang menyebabkan panen tidak maksimal. Penanaman cabai rawit merah sendiri tetap berkelanjutan oleh Petani. Tapi memang sejak Desember 2020 sampai sekarang itu sedikit tertahan produksinya karena musim hujan. Ini membuat aktivitas tanam hingga produksi menjadi terganggu,” ungkapnya.
Untuk antisipasi kedepan agar harga seperti ini tidak terjadi kembali, maka kata Novly, pihak Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut tetap melakukan pendampingan kepada Petani, memperkecil kemungkinan serangan hama penyakit akibat musim hujan ini.
“Petugas pengendali hama penyakit kita juga selalu diturunkan ke lapangan untuk melakukan pendampingan dan pengawalan. Agar supaya apa yang ditanam Petani itu terjaga. Memang musim hujan ini sangat berdampak pada potensi terjadinya penyakit pada tanaman cabai,” tuturnya.
Disisi lain, pihaknya juga akan terus mendistribusikan benih-benih cabai kepada Petani. “Termasuk juga Tomat. Kita membantu para Petani dari segi bibit itu, serta juga dalam hal pengolahan lahan bagi Petani,” sebut Novly seraya menambahkan bahwa apabila ada lahan yang cocok untuk menanam cabai, maka pihaknya akan mendorong penanaman cabai
“Sejauh lahan itu cocok, maka kita akan mendorong terjadinya rotasi tanam oleh Petani, dimana mungkin sebelumnya menanam hasil pertanian lain, kemudian berpindah menanam cabai ini, berdasarkan perkembangan harga yang ada,” imbuhnya.
“Tetapi itu tidak bisa dipaksakan kepada keseluruhan lahan, contohnya lahan sawah yang kandungan airnya cukup tinggi. Tidak serta-merta itu bisa mengganti pola tanam ke cabai. Kalau di lahan kering yang dimungkinkan penanaman cabai, maka akan kita dorong,” tegas Novly.
Harga cabai yang mahal ini dikeluhkan warga. “Cabai salah bahan utama untuk masak sehari-hari. Dengan harga seperti ini sangat membebani pengeluaran. Kami berharap pemerintah ada solusi,” keluh salah satu warga Kota Manado.
Lara, salah satu pembeli di Pasar Ritel Modern mengutarakan bahwa harga yang ada saat ini memang terlampau mahal. Untuk itu, dirinya membatasi penggunaan cabai rawit merah di makanan.
“Kalau saya yang pakai di rumah mungkin bisa dengan cara mengurangi konsumsi cabai rawit ini. Tapi kalau para penjual warung makanan, pasti mereka akan merasakan sekali dampak kenaikan ini,” keluh Lara kepada wartawan koran ini. (Fernando Rumetor)
Tinggalkan Balasan