ADRI Timpal, 40, memilih banting setir menjadi buruh bangunan ketimbang mengolah kebun kelapanya. Profesi barunya ini sudah digeluti semenjak harga kopra anjlok kisaran Rp4.000 di tingkatan petani.

Adri adalah salah satu diantara banyaknya petani kelapa asal Ratahan  Timur, Kabupaten Minahasa Tenggara, yang ikut merasakan sulitnya bertahan hidup hanya dengan mengandalkan penjualan hasil pengolahan kelapa menjadi kopra.

“Sudah setahun ini tak pernah lagi mengolah kelapa. Mau olah kelapa bukannya untung malah buntung,” ujar ayah dari dua anak tersebut dengan nada kecewa.

Bagi dia, di tengah kondisi harga kopra saat ini, mengolah kelapa sama saja bekerja tanpa upah. Biaya pengerjaan sangat tidak sebanding dengan harga jual.

Apalagi, mengolah kelapa menjadi kopra  prosesnya lama dan memakan tenaga. Buat memanjat saja para petani harus mengupah orang yang ahli memanjat. Belum lagi tahapan pekerjaaan selanjutnya sebelum menjadi kopra siap jual.

“Hitung-hitung lebih baik kelapa membusuk dikebun, dari pada mengolahnya tapi ujung ujung bekerja tanpa ada hasil. Anak istri mau kasih makan apa?” keluhnya lagi.

Tidak hanya Adri. Beberapa petani lain pun ikut memilih alih profesi ketimbang harus mengandalkan pengolahan buah kelapa. Marten Lumangkun, warga yang sama kini lebih memilih menjadi pemasak gula. Puluhan tahun menjadi petani kopra, baru kali ini masa sulitnya bukan main.

“Kalau dulu harga kopra juga pernah turun jauh. Tapi harga kebutuhan pokok juga belum mahal dan masih sesuai. Nah kalau sekarang, bukannya cukup malah gali lobang tutup lobang. Ya dengan terpaksa cari kerja lain yang bisa dikerjakan,” ujarnya.

Akhir 2017 silam, Marten mengaku para petani kelapa sedikit bernapas lega ketika harga nyaris mencapai Rp10.000 per kilogram. Harga tersebut dirasa sebanding dengan biaya pengolahan hingga harga kebutuhan pokok.

“Tapi harga itu hanya sementara tapi turun lagi. Padahal itu harga sepadan,” timpal Marthen.  Dia juga memilih untuk membiarkan kelapa membusuk ketimbang mengolahnya. Bahkan banyak perkebunan kelapa yang terbiarkan akibat kondisi harga saat ini.

“Siapa yang mau mengolah tapi kemudian hasil hanya pas hanya untuk bayar biaya pengolahan,” ujar Marthen.  Perwakilan kelompok tani Kabupaten Mitra, Decky Solang juga ikut angkat bicara menyukapi kondisi ini. Petani sangat berharap, pemerintah ikut mengambil andil menyikapi persoalan ini. Sebab dampak dari harga kopra ini akan berpengaruh pada perekonomian masyarakat.

“Tolonglah pemerintah lihat kami para petani kopra. Apalagi di Sulut, Kopra menjadi komoditi andalan. Jadi harga saat ini, akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan,” tukas Solang.

Selama ini jeritan petani kopra sudah disuarakan lewat berbagai forum. Hanya saja belum juga mampu mendongkrak harga kopra.

“Saya tidak tahu sejauh mana pemerintah bisa mengintervensi harga komoditi Kopra. Tapi bagaimana pun pemerintah harus bertanggung jawab,” tegasnya.

Di sisi lain, harga kopra juga tidak hanya berpengaruh bagi para petani. Kesulitan juga ikut dialami para pedagang pengumpul. Ferry Lapasian, salah satu pembeli asal Belang mengaku kesulitaan menjual komoditi kopra ke perusahaan.

“Kadang stok sampai menumpuk belum terjual. Masalahnya harus juga menyesuaikan harga beli petani dan harga jual kembali. Sebab kita juga memikirkan biaya transport,” ungkap Ferry.

Selain itu, kata dia, untuk dijual ke perusahaan, mereka pun harus antri berhari hari. Bahkan sampai seminggu sampai bisa mendapat giliran untuk Memasok kopra.  “Jadi sulitnya bukan di petani saja. Tapi juga di kita,” pungkasnya. (Marvel Pandeleke/cr)