MANADO-  Sulawesi Utara (Sulut) disebut sebagai supermarket bencana. Dalam arti, secara geologi, Sulut rawan terjadi gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, gunung meletus dan lain sebagainya. Karena itu, pemerintah daerah dinilai perlu siap dan melakukan langkah antisipatif. Mulai dari peraturan daerah (Perda), infrastruktur hingga fasilitas yang siap tangani bencana.

Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Kelas I Winangun Manado, Edward Henrry Mengko menerangkan, ada tiga sumber gempa yang ada di wilayah Sulut. Pertama berada di Laut Ma-luku bagian utara. Lempeng ini memanjang hingga Nusa Utara.

“Lempeng ini sangat aktif, kala terjadi gempa ver-tikal bisa berpotensi tsunami,” terang Edward saat hadir dalam Forum Mingguan (FM) KORAN SINDO MANADO (KSM) yang mengangkat tema “Siaga Bencana dan Tangkal Hoaks”, Kamis (11/10/2018), di Kantor KSM, sebagai moderator redaktur KSM Kim Tawaang.

Kedua, kata dia, lokasi Su-lut memanjang antara Utara Gorontalo, serta yang ketiga dari Selatan Mindanao. Sebab itu, kata dia, dengan adan-ya lempeng aktif tersebut, masyarakat yang tinggal di Sulut tidak perlu khawatir jika sering terjadi gempa.

“Kalau kita dengan ada gempa di Manado itu normal, karena kita ada di daerah subduksi atau tunjaman lempeng ke bawah,” paparnya.

Menurut dia, melihat dari seja-rah, nenek moyang sudah mu-lai beradaptasi dengan gempa, salah satunya konstruksi rumah yang dibuat dari kayu. “Rumah adat Minahasa sebe-narnya adalah cermin adaptasi dengan gempa,” paparnya.

Hanya saja, Dia menerangkan, tinggal di Sulut yang berada di jalur cincin api maka masyarakat harus men-getahui cara yang dilakukan jika terjadi bencana. Mulai dari sebelum, pada saat gempa dan sesudah terjadi gempa.

“Intinya mas-yarakat tidak perlu panik. Cukup mencari tempat yang aman. Jika gempa terjadi lebih dari 30 detik maka itu sudah menjadi peringatan dini untuk berhati-hati,” paparnya.

Disamping itu, dia berharap, kepada pemerintah untuk membentuk peraturan daerah (Perda) tentang ban-gunan. Hal ini untuk men-gantisipasi terjadinya gempa dengan magnitudo yang kuat. Selain itu, ketahanan bangu-nan juga untuk mengantisipa-si terjadinya likuifaksi.

“Kami imbau karena ada di daerah gempa maka pemerintah per-lu mendorong lahirnya perda bangunan, tujuannya untuk menghindari korban jiwa yang lebih banyak,” ujarnya.

Kepala Pengamat Gunung Berapi Tomohon Farid Rus-kanda mengatakan, Sulut memiliki sembilan gunung api dan dua gunung api berada di bawah laut. Pembentuk gunung api di Sulut adalah lempeng Eurasia dan Pasifik. “Eurasia dan Pasifik adalah lempeng yang membangun gunung api di Sulut,” tuturnya.

Untuk saat ini, kata dia, Gunung Soputan masih bera-da pada level III atau berstatus siaga. Sedangkan Gunung Lokon pada level II atau ber-status waspada. Meskipun demikian, aktivitas Gunung Lokon patut diwaspadai. Sebab banyak warga yang bermukim di dekat gunung.

“Soputan level III tapi tidak masalah karena jarak terdekat dengan pemukiman sekira 10 kilometer, sedangkan di Lokon warga bermukim cukup dekat, ini cukup ba-haya,” terangnya.

Kasubdid Rekonstruksi BPBD Sulut, Chris Laotongan mengatakan, pihaknya selalu sigap jika terjadi bencana di daerah. “Kalau ada potensi bencana maka kami sudah siap kesana, bukan pada saat bencana,” ujarnya.

Disamping itu, pihaknya juga sering melakukan latihan bersama dengan stakeholder terkait tentang cara men-gatasi bencana. Kasipensat Pendam XIII Merdeka May-or Inf Suwarno menerang-kan, latihan bencana sangat penting dilakukan. Apalagi Sulut sangat rawan dengan berbagai bentuk bencana.

“Di Sulut kami sudah terlatih untuk menangani bencana karena sudah ada koordinasi dengan pemerintah daerah. Contohnya ketika penanga-nan bencana banjir bandang 2014 lalu,” tuturnya.

dr Agusteivie Telew mengatakan, kapasitas pemerintah untuk menghadapi bencana harus diperkuat sebelum terjadi bencana. Sebab jika tidak diperkuat penanganan bencana tidak akan berjalan mulus. Bahkan hanya akan menimbulkan masalah baru.

“Pemerintah daerah harus siap menghadapi bencana, semua yang dibutuhkan un-tuk penanganan bencana harus diadakan, mulai dari kendaraan, alat berat, tenaga kesehatan, makanan dan sum-ber-sumber lainnya yang bisa digunakan saat terjadi dan sesudah bencana,” jelasnya.

Sebab, berkaca dari keja-dian gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, pemerintah daerah di sana dinilai tidak mampu menangani bencana. Semua hanya tergantung dari Pemerintah Pusat. “Jadi, jangan santai saat damai. Tapi melakukan berb-agai langkah,” ujarnya.

Lanjut dia, Untuk memberikan pemahaman kesiapsiagaan terhadap bencana, PMI telah memberikan pelatihan pada masyarakat yang tinggal di Kota Menara, Kabupaten Minahasa Selatan. Di Kota Menara, masyarakat sudah tahu apa yang akan dilakukan jika terjadi erupsi Gunung Soputan. “Masyarakat di Kota Menara sudah paham harus mengerjakan apa jika terjadi bencana,” terangnya.

Sekretaris BPC Perhumas Manado Winda Hapsarani mengatakan, pihaknya mem-berikan peran penting dalam menangkal berita bohong atau hoax yang menerpa bisnis pariwisata di Provinsi Sulut. Waktu Soputan erupsi pelaku wisata mengeluh karena dengan berita hoaks dengan banyak wisatawan yang membatalkan kunjungan ke Manado.

“Karena itu kami bergerak dengan menyebarkan informasi bahwa Sulut tetap aman untuk dikunjungi meskipun ada erupsi Gunung Soputan. Juga sulut berada jauh dengan Sulteng,” terangnya.

“Publikasi tersebut dilakukan lewat media sosial. Bahkan dalam publikasi yang menerangkan Sulut aman untuk dikunjungi itu diterjemahkan dalam tiga bahasa yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Mandarin,”tambah Hapsarani

Sementara itu, Perwakilan Basarnas Manado Jandry Paendong mengatakan, jika terjadi bencana pihaknya selalu siap satu kali 24 jam. “Kami selalu standby. Personil dan peralatan yang dibutuhkan siap digunakan,” paparnya.

Lanjut dia, pihaknya juga memberikan pelatihan bagi siswa seko-lah dasar hingga mahasiswa terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. “SD hingga perguruan tinggi kami sudah edukasi, supaya mereka sudah tahu apa yang dilaku-kan saat terjadi bencana,” tuturnya. (KORAN SINDO MANADO/STENLY SAJOW)