Kedua pandangan di atas menunjukkan bahwa sebagai sebuah bangsa, pluralisme yang ada di Indonesia harus ditempatkan sebagai pengikat yang dapat mengukuhkan identitas sebagai bangsa Indonesia yang bersatu. Dengan adanya daya ikat ini maka bangsa Indonesia memiliki kekuatan untuk menangkal segala bentuk provokasi dan propaganda yang dapat menimbulkan perpecahan. Maraknya konflik yang terjadi saat ini baik dengan dalih agama, ras maupun budaya pada dasarnya bukan sebuah konflik yang lahir karena pertentangan terhadap perbedaan tersebut tetapi lahir karena adanya pihak-pihak yang mencari celah untuk dapat merenggangkan daya ikat antara seluruh masyarakat Indonesia sehingga upaya yang terbaik yang harus dilakukan saat ini bukanlah membicarakan perbedaan-perbedaan tersebut tetapi mencari upaya untuk dapat menangkal masuknya pihak-pihak yang menggencarkan provokasi dan propaganda yang dapat merusak persatuan bangsa. Abdurrahman Wahid (2000 : 79) pernah mengemukakan bahwa sebuah perubahan sosial yang terjadi yang ditimbulkan oleh konflik kepentingan antar kelompok masyarakat, bersumber dari pengaruh eksternal yang mempengaruhi nilai/ideologi, sistem sosial budaya serta bersumber dari perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak mampu ditempatkan secara tepat oleh suatu individu atau kelompok masyarakat.
Salah satu contoh realitas di Sulawesi Utara adalah perusakan bangunan yang juga ber fungsi sebagai tempat ibadah yang terjadi di Kabupaten Minahasa Utara baru-baru ini yang dilakukan oleh sekelompok orang yang saat ini telah ditangani proses penyidikannya oleh pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Perkembangan pemberitaan terkait perusakan tempat tersebut dapat menimbulkan persoalan lanjutan apabila tidak disikapi secara bijaksana dengan senantiasa memegang teguh semanngat persatuan yang menjadi salah satu pandangan hidup bangsa Indonesia dan khusus untuk masyarakat Sulawesi Utara, memiliki filosofi hidup “torang samua basudara”. Kedalaman makna “Torang Samua Basudara” menyebabkan filosofi ini mampu membawa masyarakat Sulawesi Utara dalam hidup yang diliputi kebersamaan dan toleransi dan kebersamaan menjadi salah satu kerarifan lokal di Provinsi Sulawesi Utara yang tetap terpelihara dengan baik sampai saat ini.
Semboyan Torang Samua Basudara pertama kali dicetuskan oleh tokoh nasional asal Sulut E. E. Mangindaan saat menjabat sebagai Gubernur Propinsi Sulawesi Utara. Semboyan Torang Samua Basudara sudah tumbuh dan berkembang sejak lama menjadi nilai dan budaya dominan bagi masyarakat Sulawesi Utara bahkan menjadi modal sosial masyarakat Sulawesi Utara. Torang Samua Basudara sebagai sebuah semboyan telah diimplementasikan dan dihayati dalam kehidupan kongkrit masyarakat Sulawesi Utara Semboyan Torang Samua Basudara telah diakui secara luas sebagai suatu kearifan lokal yang kuat dan kokoh bahkan menjadi penangkal terhadap macam-macam ancaman konflik, utamanya ketika di Indonesia pada rentang tahun 1998-2000. Prinsip hidup dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam semboyan Torang Samua Basudara menjadi modal penting bagi terciptanya sikap toleransi masyarakat di Sulawesi Utara dan menjadi alat pemersatu dan penjaga kerukunan hidup masyarakat Sulawesi Utara.
Sumertha (2012) mengemukakan bahwa semboyan Torang Samua Basudara mengandung dimensi-dimensi moral yaitu sebagai the way of life (cara dan pandangan hidup), menjunjung tinggi rasa toleransi, rasa hormat kepada orang tanpa memandang ras, agama dan keyakinan, siap membantu sesama tanpa memandang latar belakang, dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mengedepankan demokrasi .
Semboyan “Torang Samua Basudara” dapat menjadi salah satu pegangan bagi seluruh pihak dalam menyikapi kasus perusakan bangunan yang juga berfungsi sebagai tempat beribadah di Kabupaten Minahasa Utara. Sepatutnya, sewajarnya, perusakan tersebut tidak pernah terjadi apapun alasannya, dan atas kejadian tersebut pihak yang berwenang dalam hal ini Kepolisian Daerah Sulawesi Utara telah mengambil langkah yang cepat dan sigap untuk menemukan para pelaku dan akan segera diketahui secara pasti apa yang menjadi latar belakang tindakan yang tidak patut tersebut. Untuk mencegah terjadinya konflik berkepanjangan, maka selayaknya masalah ini diserahkan kepada pihak yang berwajib dan kita semua sebagai masyarakat kembali menata kehidupan kita dengan tetap menjaga dan menghargai setiap perbedaan serta menempatkannya sebagai sebuah kekayaan yang harus dipelihara dan tidak dinodai dengan hal-hal yang tidak sejalan dengan filosofi hidup masyarakat Sulawesi Utara. (*)
Tinggalkan Balasan