MANADO– Pandemi Covid-19 yang berdampak pada banyak sektor turut memengaruhi kesehatan mental masyarakat. Sebangian masyarakat khawatir sakit atau tertular Covid-19. Selain itu, ada yang juga risau dengan masalah finansial, pekerjaan dan masa depan. Hubungan antara kesehatan mental masyarakat dan pandemi ini, telah dikonfirmasi Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO).
WHO telah melaporkan ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan krisis kesehatan mental yang membayangi negara-negara di dunia akibat pandemic Covid-19 ini. “Belakangan banyak ketidakpastian. Kondisi itu membuat orang sulit merencanakan masa depan. Hal itu membuat orang jadi jengkel,” kata dr Frida Agu, Psikiater RS Ratumbuysang, Senin (3/8/2020).
Bagi sebagian orang, rasa stres dan cemas menghadapi pandemi korona bisa sampai mengganggu kesehatan mental. Terlebih jika sebelumnya seseorang memiliki riwayat gangguan kecemasan, depresi, serangan panik, atau gangguan obsesif kompulsif. “Gejala gangguan kesehatan mentalnya bisa jadi meningkat di masa pandemi,” jelasnya.
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof Dr VL Ratumbuysang Manado, Sulawesi Utara (Sulut) sendiri siap menerima pasien depresi akibat terdampak pandemi Covid-19. “Kami tetap siap menerima. Semua diperlakukan sama dengan pasien yang lain. Kalau kekhususan tidak ada. Tetap diperlakukan sama dengan yang lain,” kata Direktur UPTD RSUD Ratumbuysang dr Samuel Malingkas saat dikonfirmasi via WhatsApp.
dr Samuel juga menyebut, virus korona menambah angka penderita gangguan jiwa di tengah masyarakat. Meski demikian, dia tak menyebut secara detail jumlah angka itu. “Kita perhatikan dampak Covid-19 ini, bandingkan misalnya kasus lain, SARS dan dampak tsunami, wabah ini terjadi peningkatan gangguan kejiwaan dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Dampak bencana ini demikian besar,” jelasnya. “Masyarakat yang butuh konsultasi psikologi ketika menelepon akan langsung terhubung dengan relawan yang memberikan konseling,” sambungnya.
Sementara itu, menurut Ilmuwan Psikologi, Preysi Siby, untuk menghindari depresi ada beberapa cara yang dapat dilakukan. “Yang sebaiknya dilakukan adalah fokus pada prioritas. Prioritas pada masa pandemi saat ini ialah berfokus pada kesehatan. Kalau sudah fokus pada kesehatan, nantinya dia (masyarakat) paham, kenapa tidak masuk kantor, kenapa belum bisa bekerja,” ujarnya.
Memang dikatakannya, banyak pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dilakukan secara online atau daring, sehingga terjadi perubahan, yang disebabkan oleh hadirnya virus korona ini. Perubahan ini pun membuat sebagian individu dengan tipe-tipe tertentu, sulit untuk menerimanya.
Namun, kata Preysi, masyarakat juga bisa mencari beragam kegiatan yang bisa dilakukan dari rumah, yang juga bisa memberikan penghasilan, walaupun tidak banyak. “Atau bahkan melakukan ketahanan pangan sendiri, misalnya untuk makan. Ketahanan pangan di rumah dengan menanam ataupun memelihara hewan, dan lain-lain, itu penting,” ungkap Preysi.
Kemudian, saat melakukan aktivitas menonton hiburan youtube, Preysi menngharapkan agar masyarakat tak hanya menonton vlog dan hiburan saja, tetapi beragam ketrampilan, seperti membuat barang-barang yang bernilai ekonomi dan bisa membantu menopang ekonomi keluarga.
“Bagaimana cara membuat masker, cara mananam tanaman, bagaimana cara membuat keset kaki, taplak,” bebernya seraya menambahkan bahwa pandemi ini memiliki dampak yang luas, tak hanya terbatas pada manusia saja.
Selain itu, dirinya memberikan tips untuk menjaga agar tidak stressdan depresi, yakni self care atau menjaga kesehatan diri sendiri. Ini dibarengi dengan perilaku, yang kemudian dibuat menjadi gaya hidup, yaitu gaya hidup sehat.
Disamping itu, yang perlu dikembangkan juga oleh masyarakat di tengah pandemi ini, ialah sikap care atau peduli, yang didalamnya membawa rasa empati, etika dan sikap positif lainnya. “Terutama untuk kecerdasan moral, dimana kecerdasan moral itu penting. Kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah, itu adalah moral, jadi tidak memahami hal-hal yang abu-abu” ujar Preysi.
Hal ini juga tak lepas dari etika, dimana dikatakan Preysi, etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan moral, dapat membuat orang pun bersikap benar dan terhormat.
“Bahwa orang yang sudah bertugas di luar rumah, tidal lagi work from home (WFH), mereka memiliki moral yang baik, didalamnya ada etika yang baik. Artinya, saat saya keluar dari rumah, saya pastikan bahwa saya tidak merusak lingkungan, atau saya akan pulang kerumah dan saya akan menjadi pembawa virus ini,” jelasnya. “Pastikan hal tersebut dengan moral, paham dengan benar apa yang harus dilakukan,” sambung wanita yang juga Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) ini.
Sebab, kecerdasan moral juga merupakan bagian dari empati, dimana Preysi membeber bahwa bagi orang-orang yang kini masih suka kumpul-kumpul dengan alasan sudah bosan dirumah, yang harus dibangkitkan ialah rasa empatinya.
“Seandainya ada menjadi dokter di rumah sakit, apa perasaan anda kalau melihat orang yang berkumpul-kumpul di luar rumah sakit? Seandainya Anda menjadi orang, keluarga yang korban dari si virus ini, apa perasaan anda melihat orang di jalan raya yang tidak pakai masker? Itu membangkitkan rasa empati,” sebut Preysi.
Kemudian, dikatakan dosen di Fakultas Psikologi UKIT ini, masyarakat juga harus memakai hati nurani, dimana pandemi ini tak hanya terjadi di Manado dan Indonesia saja, tapi seluruh dunia, dan korbannya sudah banyak sekali. “Apakah keegoisan dan kebosanan kita, akan menutupi hati nurani kita untuk mengatakan bahwa banyak orang diluar yang sedang bergelut dan berjuang dengan oksigen di rumah sakit, sementara kita yang diberikan kesempatan oleh Tuhan yang masih tidak sesak nafas, malah berfoya-foya,” imbuhnya.
Yang terakhir yang harus menjadi perhatian, ialah kebaikan hati. Setiap manusia itu diciptakan memiliki kebaikan hati, walaupun diungkapkan Preysi, levelnya berbeda-beda. “Kebaikan hati sudah saatnya dicerdaskan. Tidak memikirkan diri sendiri, tetapi memikirkan lingkungan. Bagaimana kalau saya keluar dan tidak menjaga kebersihan, sementara di rumah ada orang tua, lansia, bahkan ada balita, mereka sangat rentan,” tukasnya.
Terkait masalah kesehatan mental, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ) SKI Jakarta, Nova Riyanti Yusuf menyebut, Indonesia termasuk negara yang belum mengutamakan kesehatan jiwa.
Di masa pandemic ini, menurut Nova, perhatian terhadap kondisi kesehatan mental masyarakat makin penting. Dia memaparkan fakta bahwa betapa tingginya pengaruh pandemi tersebut kepada kesehatan jiwa. Hingga 14 Mei lalu, ada 2.364 responden dari 34 provinsi. Sekira 72% peserta swaperiksa ini perempuan. Dari situ ketahuan peserta yang 68% mengalami cemas, 67% depresi dan 77% trauma psikologis di masa pandemi.
Diketahui, Kemenkes juga menyiapkan hotline 119 extension 8 khusus untuk kesehatan jiwa yang bisa dihubungi setiap saat. Kemenkes juga memiliki banyak perkumpulan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap kesehatan jiwa.
“Ada banyak, ada perhimpunan schizophrenia, ada perhimpunan bipolar, ada perhimpunan autis, ada perhimpunan orang untuk tercegah bunuh diri,” ujarnya. Masyarakat diajak untuk sadar bahwa jiwa adalah bagian integral manusia. Jiwa perlu sehat sebagaimana fisik manusia. Dia meminta agar upaya mencari pertolongan mental sebagai upaya promotif preventif kesehatan jiwa dibudayakan. Terhadap gangguan kesehatan fisik masyarakat disebutnya sudah semakin sadar, tetapi belum untuk kesehatan jiwa. (Deidy Wuisan/Fernando rumetor)
Tinggalkan Balasan