JAKARTA– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merespons keluhan sebagian mahasiswa yang kesulitan mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat keterbatasan mengakses internet. Kemendikbud menyatakan siap membantu mahasiswa dengan kuota internet untuk pemakaian selama empat bulan. Kemendikbud akan memberikan bantuan kuota internet kepada minimal 25% dari keseluruhan mahasiswa. Jika mengacu jumlah total mahasiswa Indonesia, baik perguruan tinggi swasta (PTS) maupun perguruan tinggi negeri (PTN) yang mencapai 7 juta jiwa, maka penerima bantuan diperkirakan mencapai 1,75 juta orang. Bantuan akan diberikan selama empat bulan, yakni dari September hingga Desember.
Namun, kebijakan ini menuai sorotan anggota DPR maupun pengamat pendidikan. Menurut Fikri, semestinya Nadiem berkomunikasi langsung dengan mahasiswa atau perwakilannya sehingga Mendikbud lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan para mahasiswa selama PJJ diberlakukan.
“Agar tahu sebenarnya apa saja yang mereka butuhkan dan berapa prosen yang harus difasilitasi. Jangan menentukan secara sepihak,” ujarnya. Politikus PKS ini menuturkan, semestinya Mendikbud dalam menentukan prosentase jumlah bantuan itu harus berdasarkan jumlah riil di lapangan. Sehingga, tidak hanya 25% mahasiswa Indonesia saja yang mendapatkan bantuan tersebut.
“Jangan mengakibatkan kecemburuan antarmahasiswa atau bahkan bisa mengakibatkan kegaduhan baru,” tegas Fikri. Dia menilai, selain pola komunikasi yang buru-buru, pendataan di Kemendikbud juga sering kali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Anggota DPR dari Dapil Jawa Tengah IX ini menambahkan, penerapan PJJ di tingkat SD, SMP dan SMA juga mengalami banyak kendala. Khususnya soal kuota internet dan honor guru. Meskipun Kemendikbud sudah membuat kebijakan relaksasi pelaksanaan dana BOS (bantuan operasional sekolah), tapi faktanya penerapan di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.
Koneksi internet menjadi permasalahan utama sejak aplikasi pembelajaran daring mulai diberlakukan kepada mahasiswa sejak Maret lalu, yakni di awal pandemi Covid19 melanda Indonesia. Ini berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kemendikbud pada Maret 2020 dengan melibatkan 230.000 mahasiswa yang tersebar di 32 provinsi. Masalah yang dikeluhkan mahasiswa antara lain terbatasnya jangkauan layanan internet, stabilitas jaringan dan biaya yang masih belum ramah dengan kantong mahasiswa.
“Karena itu kami akan terus mencari jalan keluar agar program-program pendidikan jarak jauh maupun program lain untuk mencegah Covid-19 tidak menyebar di Indonesia, bisa dilakukan dengan baik,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Paristiyanti Nurwardani pada webinar bertajuk “Refocusing Anggaran dan Relawan Mahasiswa Penanggulangan Covid-19,” Jumat (7/8/2020).
Untuk menjalankan program ini Kemendikbud melakukan kerja sama dengan perusahaan provider telekomunikasi. Hal ini dilakukan karena masalah pendidikan dinilai tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tapi juga masyarakat.
“Kami sedang negosiasi dengan berbagai platform yang handling terkait dengan PJJ, terutama dengan provider kuota. Kami berjuang untuk memberikan bantuan kuota mulai bulan September sampai Desember,” kata Paris.
Kepedulian Kemendikbud juga dikhususkan kepada mahasiswa yang berdomisili di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertingal). Pada daerah ini mahasiswa sulit mendapat sinyal internet . Akan disediakan local area network (LAN) atau jaringan area lokal dan juga komputer tablet. Pancaran dari LAN tersebut akan mencapai radius 100 meter. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemendikbud menunjukkan ada sekitar 6% perguruan tinggi yang ada di daerah 3T atau sekitar 284 perguruan tinggi.
“Jadi kami pasang server, kami pasang pemancar dan nanti mahasiswa di sana bisa mendownload dari pancaran beberapa ratus meter. Jadi tidak usah pakai kuota,” katanya.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengatakan, sebelum bantuan kuota internet diberikan kepada mahasiswa, seharusnya Kemendikbud mematangkan dulu pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pasalnya, kata dia, masih ada perguruan tinggi yang belum memahami betul sistem PJJ itu. Hal yang perlu dilakukan sekarang justru adalah menyiapkan infrastrukturnya, menyiapkan dosen, karena hanya dengan begitu anggaran akan efektif dan efisien.
“Harusnya ajaklah ngomong rektor dulu, juga mahasiswa, tanya apa yang seharusnya bisa dibantu. Bukan terus tiba-tiba kasih pulsa,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (7/8/2020). Dia mengaku belum tahu secara detil soal bantuan kuota internet bagi 25% mahasiswa. Namun dia memperkirakan itu bisa memicu polemik juga nanti. “Kan nanti aka nada yang bertanya, mengapa mahasiswa itu dibantu sedangkan saya tidak. Ini akan lebih ribet lagi,” tandasnya.
Indra menilai kemendikbud seperti tidak punya konsep matang mengenai kebijakan pendidikan di era pandemi ini. Dia mencontohkan program Kampus Merdeka yang membolehkan mahasiswa tidak kuliah di kampus selama tiga semester. Dia mempertanyakan mengapa hal itu justru tidak dijalankan. Padahal, jika kebijakan itu berjalan akan bisa membantu mahasiswa mengatasi masalah yang dihadapi. Sudah tahu mahasiswa mengalami kendala dengan kuliah daring, dia menilai lebih baik mendorong mahasiswa menjadi relawan selama tiga semester. Mahasiswa bisa menjadi relawan kesehatan, atau relawan di daerah untuk membantu masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi.
“Kampus Merdeka tiga semester ngga perlu kuliah itu kan program Kemendikbud sendiri. Mengapa itu tidak dijadikan alat? Padahal itu bisa menyelesaikan sebagian besar problem. Tinggal didorong saja kan, mahasiswa yang ngga punya duit bisa jadi relawan Covid ,” paparnya. (Koran Sindo)
Tinggalkan Balasan