MANADO – LQ Indonesia Law Firm kunjungi Polda Sulawesi Utara (Sulut) dalam rangka konsultasi proses kasus tanah di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat, RT 25, RW 7, Lingkungan IV, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, Selasa (22/3/2022).

Diketahui, kasus tanah tersebut sudah dilaporkan hingga empat laporan oleh Prof Ing Mokoginta dan sudah lima Kapolda berganti namun belum juga tuntas.

Dalam kunjungan LQ Indonesia Law Firm diwakili Advokat H. Alfan Sari dan advokat Jaka Maulana, sebagai Kuasa Hukum Prof Ing Mokoginta.

Terpantau, kedatangan kedua advokat tersebut ke Polda Sulut sekira pukul 11.00 Wita.

Advokat Alfan Sari mengatakan, kedatangan ini adalah untuk berkoordinasi terkait perkembangan laporan dugaan tindak pidana yang dilaporkan oleh klien kami.

“Jadi maksud kedatanganan kami hari ini di Polda Sulut, yang pertama adalah untuk bersilaturahmi kepada Dirkrimum Polda Sulut sekaligus pemberitahuann informal bahwa per hari ini,” ujarnya di depan awak media Polda Sulut.

Menurutnya, berdasarkan surat kuasa yang telah diberikan kepada kami, perkara ini akan sepenuhnya di bawah pengawasan LQ Indonesia Law Firm.

“Kami melakukan pembahasan internal terkait perkara ini, dan berkesimpulan bahwa pidananya telah terbukti dengan sangat terang benderang.

Disinggung mengenai adanya dugaan intervensi oleh oknum-oknum yang diduga membackup perkara ini, Alfan Sari menegaskan bahwa dirinya sudah mendapatkan informasi tersebut.

“Iya, kami sendiri sudah dapat keterangan soal itu, bahwa ada bekingan dari seorang pengusaha besar terhadap perkara ini, yang mengakibatkan lambat dan rumitnya penanganan perkara ini,” kata dia.

Ia mengakui pihaknya masih percaya bahwa pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Sulut akan tetap bersikap profesional dan objektif dalam menangani perkara ini.

“Kalo pun ternyata sebaliknya, maka pasti akan kami tindaklanjuti,” pungkasnya.

Sementara itu, Penasehat Hukum Jaka Maulana mengatakan, perkara ini bermula ketika pada tahun 2017, di atas tanah milik para pelapor yang terletak di Gogagoman, Kotamobagu, tiba-tiba terbit sertifikat atas nama orang lain.

“Hari ini sangat disayangkan pak Direskrimum Polda Sulut lagi sibuk dan belum bisa kami temui. Dijadwalkan kembali untuk bertemu besok harinya,” katanya.

Diketahui, selain mengunjungi Polda Sulut, kedua advokat juga penasihat hukum Prof Ing Mokoginta mengunjungi Kejati Sulut untuk mempertanyakan kasus laporan ketiga bagaimana prosesnya yang sudah naik status dari penyelidikan ke penyidikan.

Perkara ini pada awalnya terkait dengan sebidang tanah yang terletak di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat, Kota Kotamobagu.

Dimana tanah tersebut sudah ada SHM Nomor 89/Gogagoman tahun 1987 an. Hoa Mokoginta dan dialihkan kepada ahli warisnya yakni Sientje Mokoginta, Ing Mokoginta, Inneke S dan Ignatius BP sebagai pemilik. Lalu kemudian pada tahun 2009 diatas tanah yang sama terbit SHM 2567/Gogagoman tahun 2009 an. Marthen M yang sudah dipecahkan sempurna.

Dan seluruh hasil pemecahan /produk SHM-SHM dari SHM Nomor: 2567/Gogagoman tahun 2009 an. Marthen M telah dibatalkan /dicabut oleh putusan PTUN dan SK pencabutan dari BPN. (Bukti-bukti sudah masukan ke penyidik).

Pada tahun 2017 dr Sientje Mokoginta membuat Laporan pertama di Polda Sulut sebagai laporan Polisi nomor : LP/684/IX/2017/Sulut/SPKT, tanggal 05 September 2017.

Dengan terlapor Maxi M dkk atas dugaan tindakan pidana penguasaan tanah tanpa hak atau penyerobotan sebagai dimaksud dalam pasal KUHP, namun laporan tersebut dihentikan (SP3).

Kemudian dr Sientje Mokoginta kembali melaporkan di Polda Sulut laporan Kedua terhadap Maxi M dkk dengan dugaan tindak pidana perampasan /penggelapan hak dan penyerobotan.

Sebagaimana Laporan Polisi Nomor: LP/78/II/2020/Sulut/SPKT akan tetapi laporan ini juga dihentikan sebagaimana SP2HP Nomor: B/473/XI/2020/Dit. Reskrimum tanggal 4 November 2020.

Dan untuk penyelidikan laporan pertama dan kedua sudah dilaksanakan sidang kode etik.

Selanjutnya ASA CB. Saudale (anak dari dr. Sientje Mokoginta ) melakukan Laporan Polisi yang ketiga di Polda Sulut.

Sebagaimana Laporan Polisi Nomor: LP/541/XII/2020/Sulut/SPKT tanggal 7 Desember 2020 terhadap Welly M dkk (saudara Maxi M) atas dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen dan penggelapan hak atas tanah dan terkait laporan ini maka penyidik telah melakukan gelar perkara yang terakhir pada 22 Desember 2021.

Atas hasil gelar perkara pada Laporan Ketiga kami keberatan yakni SP2HP Nomor: B /495/XII/2021 /Dit. Reskrimum tanggal 30 Desember 2021 karena yang kami laporkan dalam laporan yang ketiga ini bukan pasal 167 atau penyerobotan.

Namun pasal 263 dan 385 akan tetapi penyidik menerapkan pasal 167 padahal waktu laporan Kedua pernah dilakukan gelar perkara yang dihadiri juga oleh kuasa hukum dan pelapor.

Dimana saat itu pelapor meminta untuk Laporan kedua penyidik dapat juga melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan pidana pasal 263 atau pasal 385.

“Akan tetapi kalau tidak salah dalam gelar perkara tersebut ada pendapat dari penyidik dan peserta gelar yang menyatakan bahwa tidak bisa diterapkan ke pasal 263 atau pasal 385 karena mengacu ke laporan awal/dasar laporannya adalah penyerobotan bukan pemalsuan atau penggelapan hak,” bebernya Jaka Maulana.

Sehingga, lanjutnya, untuk dilakukan penyelidikan atas dugaan pasal 263 atau pasal 385 KUHP tidak bisa.

Bahkan dalam gelar perkara tersebut dihadiri oleh ahli pidana dari Unsrat yakni DR. Johny Lembong yang mengatakan bahwa persoalan ini tidak bisa diterapkan ke pasal 167.

“Yang menjadi pertanyaan kami mengapa laporan ketiga ini diterapkan pasal 167. Dimana saat itu kami meminta untuk laporan kedua penyidik dapat juga melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan pidana pasal 263 atau pasal 385,” ujarnya.

Akan tetapi, kata dia, kalau tidak salah dalam gelar perkara tersebut ada pendapat dari penyidik dan peserta gelar yang menyatakan bahwa tidak bisa diterapkan ke pasal 263 atau pasal 385 karena mengacu ke laporan awal/dasar laporannya adalah penyerobotan bukan pemalsuan atau penggelapan hak.

“Sehingga untuk dilakukan penyelidikan atas dugaan pasal 263 atau pasal 385 KUHP tidak bisa,” tukasnya.

Bahkan dalam gelar perkara tersebut dihadiri oleh ahli pidana dari Unsrat yakni DR. Johny Lembong yang mengatakan bahwa persoalan ini tidak bisa diterapkan ke pasal 167.

“Sehingga yang menjadi pertanyaan kami mengapa laporan ketiga ini diterapkan pasal 167?,” ungkapnya.

Sedangkan tanah yang menjadi objek sengketa saat ini hanya memiliki SHM Nomor: 98/Gogagoman tahun 1978 sedangkan seluruh SHM-SHM yang diterbitkan atau pemecahannya dari SHM Nomor : 2567/Gogagoman tahun 2009 sudah dibatalkan oleh putusan PTUN.

Terhadap laporan ketiga ini maka penyidik telah memberikan SPDP tertanggal 27 April 2021 dengan surat nomor : B/37/IV/2021/Dit. Reskrimum.

Namun sesuai informasi yang kami dapatkan, jaksa telah mengembalikan SPDP tersebut karena belum dilengkapi berkas-berkas pendukung.

Dan juga dalam SPDP tersebut diberikan tembusan kepada tersangka akan tetapi sampai saat ini belum diketahui siapa tersangkanya.

“Bahwa saat ini kami juga sudah membuat laporan yang keempat, sebagaimana Laporan Polisi Nomor : STTLP/B/460/IX/2021/SPKT/Polda Sulut tanggal 28 September 2021 terhadap terlapor Corry M dkk (Saudara Kandung Maxi M),” urainya.

Dengan dugaan tindak pidana menggunakan surat palsu dan saat ini terlapor belum dilakukan pemeriksaan.

“Bahwa berdasarkan uraian kami diatas maka kami memohon kepada Kapolda Sulut agar dapat memantau perkara kami,” sebutnya.

Ia menambahkan, jika dalam pelaksanaan penyelidikan /penyidikan ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, kiranya dapat diambil tindakan untuk tetap menjaga profesionalisme dan integritas Polri khususnya Polda Sulut. (Deidy Wuisan)