MANADO- Baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu memperbaiki sistem digitalisasi pemilu, sebab digitalisasi ini akan sangat membantu masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan pemilu.

Hal ini mengemuka dalam seminar yang berjudul Efektivitas Digitalisasi Pemilu yang digelar Kelompok Mahasiswa Pusat Studi Kepemiluan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unsrat, Kamis (9/3/2023). Kegiatan yang dibuka langsung oleh Dekan Dr. Novie Pioh itu menghadirkan tiga narasumber yakni dosen dan peneliti kepemiluan Ferry Daud Liando, Ketua KPU Sulut Meidy Tinangon dan anggota Bawaslu Sulut Supriady Pangelu.

Menurut Liando, terdapat empat indikator untuk dapat menentukan kualitas pemilu yakni dukungan regulasi dan undang-undang yang baik, dukungan penyelenggara pemilu yang profesional, independen dan mandiri, dukungan peserta pemilu serta peran aktif masyarakat sebagai pemilih. “Dalam hal pemilu, posisi masyarakat tidak lagi sebagai objek sebagaimana praktik pemilu di era orde baru yaitu hanya melibatkan masyarakat sebatas pemungutan suara. Namun di era reformasi, posisi masyarakat ditempatkan sebagai subjek. Artinya pihak yang wajib dilibatkan dalam setiap tahapan pemilu mulai dari perencanaan hingga rekapitulasi hasil pemilu,” ungkapnya.

Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen kebijakan dalam rangka membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Baik KPU maupun Bawaslu telah merumuskan sejumlah kebijakan untuk memfasilitasi masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Salah satunya adalah kebijakan digitalisasi pemilu.
KPU membuat banyak aplikasi seperti sipol, silon, sidalih, sidapil, silog, situng dan sirekap. Bawaslu juga membuat aplikasi Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran Pemilu dan Pelaporan (SiGapLapor), sistem informasi penyelesaian sengketa, gowaslu, siswaslu dan sistim informasi lainnya.

Sistem informasi dalam bentuk digital pemilu dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat untuk mendapatkan dan memberikan informasi.
Banyak bentuk kecurangan justru dapat diketahui publik karena adanya aplikasi teknologi. Misalnya banyak masyarakat mengetahui namanya di catut oleh parpol sebagai pengurus melalui sistim informasi partai politik atau Sipol.

Menurut Meidy, sistem aplikasi teknologi sangat membantu peran serta masyarakat serta membantu KPU dalam hal pelayanan baik bagi pemilih maupun peserta. Pada pemilu 2019, KPU menghemat anggaran karena menggunakan aplikasi.

Anggota Bawaslu Sulut Supriady Pangelu mengatakan, dengan adannya aplikasi teknologi maka memberikan kemudahan bagi masyarakat yang menuntut hak dan keadilan. Hanya saja, dia menyayangkan belum semua masyarakat memanfaatkan aplikasi ini dengan baik. “Kami banyak menerima masyarkat atau calon di kantor padahal sebetulnya informasi yang diminta sudah begitu lengkap dalam aplikasi,” ucapnya.

Dalam sesi tanya jawab sebagian mahasiswa mengeluhkan persoalan yang muncul ketika kebijakan digitalisasi ini diterapkan. Belum semua masyarakat memiliki handphone yang memuat informasi tentang hak dan kewajiban pemilih, belum semua daerah terjangkau oleh listrik dan internet serta sistim server yang belum memiliki spesifikasi yang memadai sehingga kerap terjadi munculnya data yang tidak sesuai fakta.

Menurut Kepala Pusat Studi Kepemiluan Jeremy Kaligis bahwa kegiatan seperti ini rutin dilakukan pihaknya dengan topik-topik aktual. Adapun, kegiatan di tutup ketua jurusan Dr Welly Waworundeng. (Redaksi)