MANADO – Upaya peningkatan produksi dan stabilitas harga komoditas perikanan jadi topik pembahasan utama dalam Rapat Koordinasi Wilayah Sulawesi Maluku Papua (Rakorwil Sulampua) Triwulan II Tahun 2024 yang digelar Bank Indonesia (BI) pada Kamis (8/8/2024).

Rakorwil yang dipusatkan di Kota Manado, Sulawesi Utara ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah (Pemda) se-Sulampua, instansi terkait hingga Kepala Perwakilan BI Sulawesi Selatan, Rizki Ernadi Wimanda yang juga Koordinator Wilayah Sulampua.

Dalam pemaparannya, Rizki menyebut penyumbang inflasi di Wilayah Sulampua bukan hanya datang dari kangkung, beras, hingga emas perhiasan. Namun juga dari perikanan.

“Selain itu, wilayah Sulampua ternyata menjadi sentra produsen perikanan tangkap nasional dengan pangsa 55,87 persen produksi nasional dan serapan tenaga kerja yang lebih tinggi dari nasional,” bebernya.

Oleh karena itu, kata Rizki, beberapa hal wajib jadi perhatian sekaligus tantangan untuk menjaga produksi dan distribusi perikanan di Wilayah Sulampua.

Pertama ialah hilirisasi sektor perikanan di Wilayah Sulampua yang belum begitu berkembang dan masih terbatas pada produk fillet, ikan asap, dan ikan kaleng.

“Ada produk-produk olahan perikanan lain yang belum berkembang seperti Minyak Ikan, Minyak dari Sirip Ikan, Tepung Ikan, hingga Gelatin,” sebut Rizki.

Kedua, beberapa tantangan di sisi non-pembiayaan maupun kesulitan akses pembiayaan menjadi penyebab terbatasnya pengembangan industri hilir di Sulampua.

Tantangan di sisi non-pembiayaan seperti fluktuasi bahan baku produksi yang tinggi akibat ketergantungan terhadap cuaca, bahan baku pendukung hilirisasi ikan masih impor (canola oil, kaleng, sunflower oil), kebutuhan listrik untuk cold storage belum memadai, hingga persaingan perolehan bahan baku dengan industri di luar Sulampua.

Sementara jika dilihat dari sisi pembiayaan, diketahui bahwa penyaluran kredit di sektor perikanan hanya 11,77 persen dari total kredit pertanian, serta risk appetite perbankan tinggi pada sektor perikanan.

“Kapal Kayu yang jadi aset utama nelayan belum banyak diterima sebagai collateral pembiayaan, hingga sebagian besar pembiayaan masih didanai modal sendiri karena suku bunga perbankan dirasakan kurang kompetitif,” tutur Rizki.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa terdapat juga faktor risiko fenomena La Nina pada sektor perikanan. BMKG sendiri memprakirakan fenomena La Nina akan terjadi di Indonesia dan dimulai pada Agustus 2024.

“Berdasarkan pola historis, rata-rata produksi perikanan Sulampua lebih rendah pada saat periode La Nina. Dimana pada periode La Nina hanya sebesar 45,13 ribu ton, lebih rendah dibandingkan periode El Nino yang sebesar 49,54 ribu ton,” jelasnya.

Melihat berbagai tantangan itu, Rakorwil Sulampua Triwulan II Tahun 2024 pun menghadirkan berbagai narasumber yang membahas upaya peningkatan produksi dan stabilitas harga komoditas di sektor perikanan.

Diantaranya Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan-Kemenko Bidang Perekonomian, Ferry Irawan; Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing-Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Roby Fadillah; Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, Ady Candra serta Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Produk Askrindo, Yudhi Ferraro.

Turut hadir dalam rakorwil ini Kepala Perwakilan BI Sulut Andry Prasmuko, para pimpinan instansi vertikal di Sulut, akademisi, pelaku usaha, pihak perbankan serta stakeholder terkait. (Fernando Rumetor)