MANADO – Proses hukum atas kasus kekerasan seksual berupa persetubuhan terhadap anak berusia 14 tahun di Minahasa Utara (Minut) pada awal tahun ini dinilai lambat.

Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG) menilai, proses hukum kasus ini berjalan sangat lambat serta tanpa perspektif keadilan dan pemenuhan hak-hak korban.

Sejak kasus ini dilaporkan oleh pihak keluarga korban pada 11 Januari 2024, kurang lebih delapan (8) bulan, baru satu (1) terduga pelaku yang telah menjalani proses persidangan.

Selama proses persidangan, dua kali hakim meminta korban dihadirkan untuk dimintai keterangan, tanpa mempertimbangkan kondisi mental korban yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual tersebut. 

“Akibatnya, korban mengalami tekanan berat karena harus menghadiri persidangan yang mempertemukan korban dengan pelaku dalam satu ruangan sidang,” ujar Koordinator Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender, Nurhasannah, dalam keterangan pers, Selasa (1/10/2024) 

Meskipun pendamping sudah berkoordinasi dengan Jaksa dan LPSK juga sudah menyerahkan Surat Keterangan Psikolog tersebut ke Majelis Hakim, persidangan dengan mempertemukan korban dan pelaku tetap dijalankan. 

Berdasarkan hasil pemantauan proses persidangan, Tim Kuasa Hukum menilai Jaksa Penuntut Umum yang memegang perkara No. 81/Pid.Sus/2024/PN bersikap pasif, tidak aktif menggali fakta-fakta di persidangan, dan tidak berusaha mengungkap dan memastikan keterangan saksi yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum Terdakwa. 

Jaksa hanya menuntut terdakwa delapan (8) tahun penjara, membayar denda Rp. 50.000.000,-, dan membayar restitusi 28.430.000. 

Selain itu, Jaksa tidak mau memberikan hak korban atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, pelindungan, pemulihan, dan hak mendapatkan dokumen hasil penanganan seperti berkas-berkas penuntutan.

Proses hukum empat (4) terduga pelaku dewasa lainnya masih dalam tahap penyelidikan dengan alasan terkendala alat bukti. Menurut Pendamping, seharusnya tidak sulit untuk menambah alat bukti seperti: saksi korban, saksi dari orang tua, ahli, visum et repertum, dan surat keterangan Psikolog. 

Satu alat bukti (saksi korban) ditambah dengan bukti lain sebenarnya sudah bisa menaikkan ke tahap penyidikan. Jadi tidak ada alasan lagi Polres Minahasa Utara untuk tidak menaikkan ke tahap penyidikan. 

Kejaksaan Minahasa Utara mengembalikan berkas empat (4) terduga pelaku yang masih usia anak ke Penyidik (P19). Jaksa Penuntut Umum menilai, seharusnya Penyidik memasukkan kronologis bujuk rayu ke korban. Padahal, korban telah dipaksa oleh terduga pelaku, dan terduga pelaku juga sudah mengakuinya. 

Untuk alat bukti yang lain juga sudah jelas. Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengadvokasi kasus ini antara lain pendamping kesulitan mendapatkan informasi perkembangan perkara di Polres Minahasa Utara. 

Selanjutnya pada Senin (30/9/2024), KAKSBG bersama Tim Kuasa Hukum mengawal proses sidang putusan kasus. Korban dan keluarga korban tidak bisa mengikuti persidangan disebabkan korban telah melahirkan pada 23 September 2024. 

Hasil dari sidang putusan sangat mengecewakan, di mana hakim memutuskan dua (2) tahun lebih rendah dari tuntutan Jaksa, yaitu delapan (8) tahun menjadi enam (6) tahun penjara, denda lima puluh juta diserahkan kepada negara jika tidak mampu maka diganti kurungan 3 bulan. 

“Restitusi yang diajukan sebesar RP28.000.000 hanya Rp9.000.000 yang disetujui oleh hakim dengan alasan anak yang dilahirkan korban belum terbukti anak terdakwa,” kata Nurhasannah.  

Mempertimbangkan perkembangan di atas, Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender menuntut dan menyerukan:

  1. Memberi hukuman pelaku kekerasan seksual dengan hukuman maksimal; 
  2. Memberikan hak korban dan melindungi korban, keluarganya, pendampingnya dari berbagai intimidasi, kriminalisasi, dan teror dari oknum tidak bertanggung jawab; 
  3. Mempercepat proses hukum kasus di atas demi pemenuhan hak-hak korban dan sebagai pendidikan publik terkait penegakan hukum yang adil pada kasus kekerasan seksual. 
  4. Mendesak Kajari Minahasa Utara u n t u k mengevaluasi kinerja Jaksa Penuntut Umum yang memeriksa perkara No. 81/Pid.Sus/2024/PN Arm, yang tidak serius menjalankan tugasnya sebagai JPU dari mulai pengajuan tuntutan yang rendah, tidak terbuka kepada pendamping korban; 
  5. Menuntut Aparat Penegak Hukum yang memproses hukum para terduga pelaku harus memiliki kompetensi sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 21 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; 
  6. Pecat APH yang terbukti telah melanggar kode etik saat menangani perkara kekerasan seksual; 
  7. Mendesak Kapolda Sulawesi Utara mengevaluasi Kinerja Kapolres Minahasa Utara. (Fernando Rumetor)