MANADO– Tantangan mewujudkan demokrasi di daerah melalui Pilkada kian tidak mudah. Fenomena calon tunggal yang jumlahnya terus bertambah salah satu bukti kualitas demokrasi lokal makin terdegradasi. Kemudian adanya dugaan calon boneka yang sengaja dimunculkan untuk mempermudah kemenangan. Hal lain yang menonjol adalah kekurangan figur baru di daerah yang mampu dan diberi kesempatan untuk bertarung dalam Pilkada. Sulut krisis figur baru?

Kurangnya figur baru di Pilkada 2020 yang dilaksanakan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara (sulut) serta beberapa wali kota, wakil wali kota dan juga bupati dan wakil bupati yang ada di Sulut, dinilai tak lepas dari konteks demokrasi yang berkembang di Indonesia.

Di Sulut sendiri, banyak bakal calon (Balon) kepala daerah yang datang sebagai petahana atau mereka yang sementara menjabat sebagai kepala daerah. Selain ‘model’ ini, terdapat juga balon yang merupakan keluarga dari petahana. Pengamat Pemerintahan Sulut, Very Londa menyebut situasi-situasi seperti ini yang akhirnya membuat dinasti politik semakin berkembang, sebab pencalonan seseorang untuk maju di kontestasi ini datang dari mekanisme yang ada di partai politik (parpol).

“Rata-rata kepala daerah itu adalah ketua parpol di daerah, ketua DPC, DPD. Akhirnya dalam kondisi demikian, secara otomatis akan mengeluarkan atau memunculkan diri mereka sebagai balon, ataukah keluarga mereka,” ujar Londa kepada KORAN SINDO MANADO/SINDOMANADO.COM, belum lama ini.

Dikatakan anggota Senat Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini, adanya uji publik maupun survei-survei terkait tingkat ketertarikan pemilih terhadap suatu calon apabila itu dilakukan oleh internal parpol, maka ia menilai bahwa survei itu tidak bisa juga dipastikan kebenarannya.

“Misalnya survei menunjukkan si A, si B, si C, kalau saya secara pribadi meragukan. Akibatnya kan, secara tidak langsung settingan untuk calon yang akan ditetapkan, itu yang akan terjadi,” beber Koordinator Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fispol Unsrat ini.

Dengan adanya proses ini, Londa mengatakan, wajah-wajah baru yang sebenarnya berpotensi dan punya kemampuan untuk memimpin, nyatanya tak bisa terakomodir oleh parpol. “Cuma karena ‘ditutupi’ untuk mendapatkan tiket partai, akhirnya kan tidak terjadi (balon dari figure baru),” tukas akademisi Unsrat itu.

Saat ini, ungkap Londa, orang-orang yang punya pengaruh di partailah yang akhirnya bisa menjadi balon. Di sisi lain, ia menyampaikan juga bahwa tak menutup kemungkinan mereka yang mempunyai ‘uang’  yang pada akhirnya mendapat tiket partai dan diusulkan untk menjadi calon kepala daerah. “Sekalipun mau dibahasakan bahwa tidak ada mahar politik, tapi siapa yang bisa membuktikan kata-kata itu toh. Ini yang kendala (pilkada) sekarang seperti itu,” sebutnya.

Di lain pihak, ia melihat aturan yang ada sekarang tidak memihak bagi para calon independen, sebab mereka dirasakannya agak sulit untuk bisa lolos verifikasi. “Mengumpulkan KTP yang sekian persen, belum lagi prosedur administrasi lainnya. Lalu saat verifikasi lapangan gugur toh, sementara waktu untuk melengkapi dan memperbaiki terkadang mepet sekali,” pungkasnya.

Oleh karena itu, Londa membeber bahwa yang harus diperbaiki adalah sistem pengkaderan dan rekrutmen balon dari parpol, yang memperlihatkan sisi kualitas pribadi yang akan diusung. “Misalnya media melakukan debat terbuka calon, itu kan bisa melihat kualitas orang yang dicalonkan. Ya sekalipun ada Media yang bisa melakukan itu, tetapi akhirnya kembali ke partai-kan,” imbuhnya.

Kemudian, di sisi calon independen, menurutnya, hal yang harus diperbaiki ialah terkait aturan-aturan yang terlalu berat untuk dipenuhi para calon. Londa berharap agar ke depannya aturan bagi mereka ini bisa lebih dipermudah lagi.

Di lain pihak, Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat, Ferry Daud Liando melihat, di Undang-Undang (UU) Pilkada yang kita miliki saat ini, masih banyak mengandung kelemahan. Misalnya, tidak ada aturan yang mengharuskan berapa tahun seseorang menjadi pengurus parpol lalu bisa menjadi calon kepala daerah yang diusung parpol.

“Kemudian UU Pilkada juga tidak melarang, satu pasalpun, tentang calon yang berada dari kerbat kepala daerah terdahulu. Lalu UU juga tidak meberikan sanksi bagi parpol jika parpol tidak melakukan seleksi calon kepala daerah secara terbuka,” jelas Liando.

Tiga celah inilah, ungkap Liando, yang dimanfaatkan oleh parpol untuk mencalonkan kerabat kepala daerah terdahulu sebagai calon pengganti di Pilkada selanjutnya. “Sebetulnya semua warga negara punya hak yang sama untuk dipilih menjadi kepala daerah, sepanjang yang berangkutan memenuhi syarat,” tuturnya.

Liando menekankan, berdasarkan Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengatur bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-undangan.

“Namun yang menjadi persoalan apakah setiap calon memiliki kapasitas atau tidak. Bagi saya, tidak masalah jika praktik politik kekerabatan atau kekeluargaan diberlakukan, namun calon yang diusung oleh Parpol haruslah kapasitas dan kemampuannya yang diutamakan,” tandas Liando.

Dia memaparkan bahwa calon yang memiliki kapasitas dan kemampuan adalah calon yang condong ‘menyodorkan’ pengalaman, track record, prestasi dan dedikasi di masa lalu sebagai bahan kampanyenya untuk memikat para pemilih yakni masyarakat.

“Namun calon yang tak memiliki kapasitas biasanya selalu mengandalkan uang untuk menyuap pemilih agar mendapatkan suara masyarakat. Jika calon hanya mengandalkan uang untuk memengaruhi pemilih, biasanya ketika terpilih, maka tata kelola pelayanan pemerintahan selalu buruk dan yang paling dirugikan dari keadaan ini adalah  masyarakat sendiri,” sebutnya.

Ketika ditanyakan terkait sulitnya sosok baru bertarung dalam Pilkada, Liando menyebut bahwa hal itu disebabkan karena adanya regenerasi kepemimpinan di parpol yang belum berjalan ‘normal’ atau baik.

“Sehingga yang muncul sebagai calon cenderung masih sebagai aktor lama,” ucapnya. Oleh sebab itu parpol diharapkan membenahi proses regenerasi kepemimpinan yang dilakukan, sehingga tak hanya ‘aktor’ lama saja yang tampil ke permukaan sebagai calon dari partai politik tersebut.

Sementara itu, Diman, salah satu masyarakat Kota Manado mengungkapkan bahwa sebenarnya di Pilkada kali ini ia ingin melihat sosok figur baru yang tampil dibandingkan dengan petahana. Disebutkannya, figur baru biasanya paling semangat dan dapat membawa program-program yang baru.

“Visi Misi dari mereka itu (figur baru) itu visi misi yang baru,” ujarnya.

Fenomena terkait adanya petahna mencalonkan diri sebagai balon, tutur Diman, dinilai merupakan hal yang biasa dan sudah dari dahulu sudah terjadi. “Kalaupun dari petahana memang tidak apa-apa karena sudah diatur dari konstitusi,” pungkasnya.

Akan tetapi, adanya keluarga maupun saudara dari petahan yang mencalonkan diri membuat ia merasa kurang suka, sebab dikatakan Diman, hal ini meneruskan fenomena politik dinasti. “Bisa-bisa nanti berpotensi buruk dalam kekuasaan nanti, ketika calon-calon dari istri, anak atau saudara itu jadi (kepala daerah),” kata Diman.

“Bisa berpotensi menyalahgunakan kekuasaan nanti, seperti hanya orang-orang terdekat dari keluarga mereka saja yang bisa menikmati kekuasaan tersebut. Dan juga mengeni fungsi partai, misalnya kader-kader yang sudah lama dipartai itu tidak bisa langsung jadi calon dari partai, karena mereka kalah dari popularitas atau kekayaan dari keluarga petahana tadi,” tuturnya.

Dia melihat bahwa fungsi ideal partai tersumbat berkat adanya hal-hal semacam ini. Padahal sebenarnya parpol itu mempunyai banyak kader lainnya yang mempunyai kapabilitas dan bisa saja lebih dari istri, anak, atau saudara petahana itu.

Sementara itu, Rendy Languyu, salah satu warga di Minahasa mengatakan, untuk mendukung petahana memang baik juga dan tidak ada salahnya. Namun, tentunya janji-janji yang belum terpenuhi kiranya dapat diselesaikan diperiode berikutnya. “Petahana memang masih bisa memipin Sulut, namun kiranya apa yang dulu dijanjikan dapat dipenuhi ke depannya,” harapnya.

Anto Pelengkahu, salah satu warga di Kakas juga menyampaikan bahwa dirinya sebagai petani tentunya mencari harapan yang baru. Karena bagi petani, harga komoditas yang ada saat ini masih kurang diperhatikan, sehingga sedikit membuat luka bagi petani. “Mencari sesuatu hal yang baru baik, petahana juga baik selama petani tidak melarat,” pintanya.

Hal lainnya yang menjadi soal adalah calon boneka. Ini adalah istilah yang digunakan untuk pasangan calon yang sengaja didorong menjadi peserta pilkada agar pasangan calon utama, seolah-olah memiliki lawan. Fenomena calon boneka yang merupakan bagian dari politik transaksional antara pasangan calon dan partai politik (parpol) berpeluang kembali terjadi di Pilkada Serentak 2020. (Fernando Rumetor)