MANADO- Memindahkan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Kaltim memerlukan kajian mendalam agar tidak terjadi konflik. Untuk mengatasi dampak buruk dari pemisahan itu, menurut Akademi Unsrat Ferry Lindo, dua hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi segala bentuk potensi ancaman.
“Pertama, untuk meredam pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat perpindahan IKN, maka IKN sebaiknya hanya bersifat Daerah Khusus Pemerintahan Pusat (DKPP). Aktivitasnya hanya sebatas pada kegiatan pemerintahan,” ujarnya, Jumat (17/12/2021).
Sementara, untuk aktivitas industri, kata dia, pariwisata, pendidikan dan hiburan tetap terpusat di Jakarta. Australia, Amerika dan sejumlah negara lain telah mempraktikkan itu sebelumnya.
“Kedua, untuk mengatasi potensi gejolak di masyarakat maka perpindahan IKN harus melewati mekanisme uji publik,” tuturnya.
Dijelaskannya lagi, uji publik ini akan juga menjadi salah satu kriteria dalam proses pembentukan UU IKN sebagaimana amanat konstitusi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Proses uji publik dapat dilakukan semacam referendum melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu).
“Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemilu adalah pemilihan untuk memilih presiden/wakil presiden, memilih DPD RI, memilih DPR RI, memilih DPRD provinsi dan kabupaten/kota,” ucapnya.
Tidak ada nomenklatur yang menjelaskan bahwa referendum masuk kategori pemilu. Namun dalam dinamika berdemokrasi kita ada proses lain yang tidak disebutkan dalam UU pemilu tapi bisa dilaksanakan melalui pemilu.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sesungguhnya bukanlah bagian dari pemilu sebagaimana penjelasan pasal 1 ayat 1 UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tapi dalam pelaksanaannya dilaksanakan melalui pemilu. Oleh karena itu, penyelenggara pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU.
Dalam pasal 1 ayat 7 dan 8 UU nomor 7 tahun 2017, tugas KPU adalah melaksanakan Pemilihan Umum. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menangani sengketa perselisihan hasil pemilu, juga ikut menangani sengketa hasil Pilkada.
“Sejarah demokrasi di Indonesia pernah melakukan mekanisme referendum untuk menentukan apakah rakyat Timor Timur merupakan bagian dari NKRI atau keluar dari NKRI,” tutur Linado.
Proses referendum saat berlangsung secara demokratis dan menghasilkan bahwa Timor Timur lebih menghendaki keluar dari NKRI. Artinya proses referendum tidaklah melanggar konstitusi negara.
Model referendum bisa dilakukan bersifat lokal untuk masyarakat setempat apakah setuju atau tidak setuju daerahnya dijadikan kawasan IKN atau dapat melibatkan seluruh warga negara dalam rangka memenuhi prosedur partisipasi publik dalam pembuatan UU sebagaimana ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011. (Fernando Rumetor)
Tinggalkan Balasan