Jika sekali waktu Anda ke pasar Jengki perhatikanlah bagaimana anak-anak menjual tas kresek. Mereka membujuk dengan cara yang piawai sehingga belanjaan Anda yang hanya beberapa potong ikan mau tidak mau harus dikantongi oleh tas kresek.
Cara membujuknya sangat halus sehingga orang-orang seperti saya terpesona membeli bahkan memberikan uang kembalian untuk mereka. Tidak masalah. Ini amal kebajikan tentunya. Ada juga yang menjual dengan memaksa halus. Mereka mengejar kita, mencolek tangan dan menunjukkan wajah kasihan. Sekali gagal mereka sabar. Dua kali gagal mereka turunkan ambang sabarnya. Tiga kali gagal mereka tunjukkan wajah kurang bersahabat. Cara ini juga tidak masalah. Saya membeli sebagai tanda hormat karena mereka mau berusaha berdagang. Tidak minta-minta atau jadi pengemis.
Saya hanya mau bilang bahwa untuk memuluskan rencana dan kehendak seseorang bisa menggunakan beragam cara. Membujuk dan memaksa sampai tujuan tercapai. Kita mengikuti kehendak si pembujuk atau pemaksa. Dalam pengertiannya yang generik, anak-anak penjual tas kresek itu melakukan tindakan politik.
“Manusia itu zoon politicon alias makhluk politik atau makhluk yang bermasyarakat” kata Aristoteles. Jika kita defenisikan politik secara sederhana sebagai seni memengaruhi orang lain untuk mengikuti tujuan kita, maka defenisi Aristoteles itu mendapatkan konteksnya pada semua tindakan manusia tak terkecuali anak-anak pedagang tas kresek iyu.
Tak ada kegiatan manusia, yang sederhana hingga yang rumit-rumit, yang terbebas dari tindakan politik. Memasak akan menjadi tindakan politik jika si ibu berupaya memengaruhi anaknya untuk makan makanan yang ia buat. Ibu yang membujuk dan memaksa anak untuk makan daging—sementara anaknya suka makan tempe—dapat dikatakan sudah melakukan tindakan politik. Bersekolah juga suatu tindakan politik andai si ibu memengaruhi—tentu dengan pelbagai bujukan, pengimbalan (reward) hingga tekanan—agar anaknya masuk sekolah ini dan bukan sekolah itu.
Dalam berpolitik secara sederhana dan naluriah ini bujukan, tekanan dan pengimbalan itu menjadi satu padu tak terpisah. Bahkan rivalitas dan kompetisi juga menjadi warna dalam seni politik yang alamiah ini. Dalam lingkup yang sederhana, tindakan politik manusia berkaitan dengan upayanya untuk memengaruhi orang. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh lagi setiap manusia secara alamaiah memiliki keinginan untuk mendominasi dan menguasai dalam upayanya untuk memengaruhi.
Tindakan politik dan upaya memengaruhi merupakan satu paket dari zoon politican itu. Studi-studi tentang kadar zat otak bernama serotonin dalam kaitan dengan status sosial menunjukkan adanya perilaku dominatif tersebut. Semula riset pada kera—dan akhirnya pada manusia—menemukan kenyataan bahwa status sosial berkaitan dengan kadar zat otak serotonin.
Makin tinggi status sosial—yang berarti juga makin tinggi kemampuan mendominasi dan memengaruhi—akan membuat makin tinggi juga kadar serotonin. Serotonin adalah zat otak yang memediasi, antara lain, kesenangan dan kenikmatan. Serotonin yang tinggi cenderung menimbulkan rasa nikmat. Kekuasaan adalah hal yang mengasyikan karena saat memiliki kekuasaan otak Anda cenderung memiliki serotonin yang tinggi.
Apa jadinya jika sifat alamiah memengaruhi ini mengalami sistematisasi sebagai sebuah “profesi” ? Artinya, seseorang melegalisasi, entah sengaja atau tidak, sifatnya untuk memengaruhi orang dalam mencapai keinginannya? Jawabnya, lahirlah profesi bernama politisi.
Kamus Merriam-Webster mengartikan politisi sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan usaha untuk memerintah, baik dalam pemerintahan maupun bisnis. Memerintah adalah jalan yang kuat memengaruhi orang lain. Umumnya tidak dengan bujukan atau rayuan, tetapi dengan perintah yang bersifat memaksa. Dan untuk memerintah seorang politisi membutuhkan kekuasaan. Politisi dan kekuasaan dapat dikatakan sebagai two side in one coin.
Ekonom klasik abad ke 18 Adam Smith juga menyebut manusia sebagai homo homini socius (makhluk yang bermasyarakat) yang mirip dengan pendapat Aristoteles. Menariknya, Adam Smith menggandengkan Homo Socius itu dengan Homo Economicus (makhluk ekonomi). Makhluk ini tidak pernah punya rasa puas dengan apa yang diperolehnya dan selalu berusaha untuk mendapatkan lebih banyak lagi.
Untuk mendapatkan semua itu ia dapat melakukan pelbagai cara yang baik maupun buruk. Dalam batas tertentu makhluk-makhluk ini menghalalkan segala cara. Baik-buruk menjadi tipis batasnya bahkan sering terjadi mereka sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Secara kasar, Thomas Hobbes menyebut mereka sebagai serigala yang saling memakan (Homo Homini Lupus).
Catatan sejarah membuktikan bahwa politik memiliki kaitan erat dengan sifat untung rugi. Dalam banyak hal, sifat untung rugi ini menggunakan trik menghalalkan segala cara. Meski politik sejatinya berkaitan dengan tatacara mengurus Negara, tetapi kemudian ia lebih banyak tampil dalam makna yang bersifat ekonomis: mendapatkan untung dengan pelbagai cara yang nyata-nyata maupun tersamar. Menguasai dan mendominasi untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan.
Menyebarluaskan pengaruh agar orang lain takluk dan mengikuti. Untuk semua itu dibutuhkan kekuasaan. Tak pandang usia, status sosial ekonomi dan pekerjaan, setiap orang ingin mendapatkan kekuasaan, dan begitu kekuasaan didapat, setiap orang menunjukkan pengaruhnya agar orang lain takluk dan taat.
Pernahkah Anda memerhatikan 3 fenomena berikut: 1) mobil sampah yang sedang mengangkut sampah di pinggiran jalan, 2) para pengantar dan mobil jenazah yang mengantarkan mayat ke kuburan dan 3) sarapan pagi (breakfast) saat kita menginap di hotel? Mobil sampah yang sedang mengangkut sampah cenderung berhenti sekenanya saja.
Tak usah heran kalau di banyak kesempatan berhentinya mobil sampah ini membuat macet di tempat tersebut. Tanpa disadari, sang supir menunjukkan ‘power’ nya. “bukankah saya sedang melakukan tindakan yang baik? Mengangkut sampah-sampah ini.” Fenomena menunjukkan ‘power’ dengan mudah ditemukan pada para pengantar mayat. Tidakkah Anda perhatikan bahwa mereka seketika menjadi raja jalanan: menghardik agar mobil2 lain meminggirkan diri dan berhenti, adakalanya memukul pengendara lain yang entah sengaja atau tidak tetap menjalankan kendaraannya dan sering terjadi memacetkan total jalan dimana mereka lewati.
Breakfast di hotel secara nyata-nyata menunjukkan bagaimana jika seseorang memiliki kekuasaan. Saat masuk ruang makan Anda mengambil piring lalu mengambil hampir semua makanan yang ada. Menaruh di meja makan dan berkeliling lagi mengambil semua minuman yang ada. Sebagian besar tidak puas dengan cara ini. Mereka berkeliling lagi mengambil buah-buah yang tersedia. Walhasil, meja dipenuhi makanan.
Anehnya, kebanyakan orang hanya memakan seperempat atau sepertiga dari yang dia ambil itu. Anda betul-betul memanfaatkan ‘power’ yang dimiliki untuk mengambil apa saja di ruang makan. Tak usah heran kalau Lord Action seorang sejarahwan Inggris bilang: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely,” (orang yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu. Kekuasaan yang mutlak cenderung menimbulkan penyalahgunaan yang mutlak). Anda perhatikan bagaimana kalimat Lord Action ini terjadi di ruang sopir pengangkut sampah, para pengantar mayat dan saat breakfast.
Dengan cerita di atas, kekuasaan dan pengaruh harus dimenej sedemikian rupa, setidaknya buat diri sendiri. Tak lalu berarti Anda kemudian menjauhi segala ikhwal yang disebut politik. Karena menjauhi hal-hal yang bersifat politik justru merupakan kesalahan yang lebih fatal lagi. Seorang penyair Jerman Bertolt Brecht menulis: “buta yang terburuk adalah buta politik.
Orang ini tak mau ambil pusing tetek bengek politik. Ia tidak peduli politik dan menutup semua indra dan pikirannya dari politik. Ia tidak tahu bahwa harga ikan, harga kacang, harga beras, harga minyak, harga sepatu dan harga obat, yang setiap hari dia gunakan itu, tergantung pada keputusan politik. Orang ini lebih bodoh dari orang bodoh alias dungu. Karena ia tidak tahu bahwa dari kedunguannya itu lahirlah para pencuri, koruptor, anak terlantar, pelacur, politisi jahat, dan banyak kebejatan dalam masyarakat. Ia lupa bahwa keputusan politik dapat mengubah banyak hal itu.”(*)
Tinggalkan Balasan