Dalam beberapa bulan terakhir ini ramai riang dunia perpolitikan tanah air., terlebih saat penyusunan dan penetaqpan DCS (Daftar Calon Sementara). Selain karena situasi politik tak menentu arahnya, juga karena banyak orang sibuk mengurus status bacaleg (bakal calon legislatif)-nya. Kawan saya, seorang pedagang kecil musiman yang jualannya antara hidup dan mati, sibuknya bukan main. Ia mengurus KTP, akta kelahiran, kartu keluarga, surat sehat, dll. Ia datang tengah malam minta pendapat saya soal rencananya ikut bertarung menjadi anggota dewan. “ini jualan pe susah skali. Kadang nyanda laku, mar maitua di rumah tiap hari minta doi blanja. Kita mo coba iko bacaleg jo. Sapa tau kong jadi”, ujarnya dengan dialek Manado kental, pada saya persis di suatu malam yang kebetulan hujan deras dan lampu mati (“lampu mati dan hujan deras ini tanda-tanda mo jadi”). “Ator jo. Sapa tahu Tuhan tola”, jawab saya. Kata “Tuhan tola” (Tuhan menakdirkan jadi anggota dewan) itu antitesis dari “setang tola” (setan yang menjadikan) yang biasa diucap orang Manado untuk suatu keinginan yang tak terencana dengan baik, tetapi sangat diharapkan. Dan memang salah satu bekal kuat kawan saya ini adalah kepercayaan pada Tuhan bahwa jika ia berusaha serius, maka Tuhan akan mengabulkan keinginannya.
Kawan saya yang lain bertarung untuk jadi ketua KNPI, ketua HMI, ketua PMKRI, ketua GMKI, ketua Muhammadiyah, ketua NU, ketua SI, bahkan hingga ketua kelompok kecil dan ketua kelas. Kawan yang lain menggunakan pelbagai cara agar menjadi direktur, pimpinan tertinggi, komandan, dan kepala dinas. Semua cara ditempuh. Mulai dari lobi-lobi, sogokan, hingga menggunakan paranormal. Tentu, ada juga yang menggunakan cara-cara yang baik, penjenjangan resmi, perbaikan kompetensi dan sejenis itu. Intinya, ada dorongan pada setiap orang untuk mendapatkan sesuatu yang bisa memperbaiki status yang ada saat ini. Kawan yang pedagang kaki lima itu ingin memperbaiki status sosialnya. Karena itu, ia masuk partai politik dan bertarung menjadi calon tetap, lalu akan bertarung agar menjadi anggota legislatif.
Kenapa manusia mengejar status sosial? Para ahli biologi evolusi menemukan bahwa manusia lebih cenderung memperbaiki status sosialnya dalam masyarakat ketimbang mencari kebahagiaan. Kebahagiaan sering disebut sebagai ultimate goal manusia. Negara seperti Bhutan bahkan mengenalkan Happiness Index (IH) untuk mengukur kesejahteraan manusia. Namun, nyatanya manusia memilih mengorbankan sesuatu yang bersifat membahagiakan untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi. Anda perhatikan bagaimana seseorang yang sudah mapan dan tenang dalam kehidupan keluarga atau profesi tiba-tiba mencalonkan diri jadi anggota dewan, bupati atau gubernur. Di suatu kabupaten ada pengusaha sukses yang kemudian berhutang, ditinggal isteri, dan (konon) jadi gila seusai gagal dalam Pilkada. Rupanya, sedang berkembang pemikiran di masyarakat bahwa jalur politik, dimana seseorang memiliki jabatan dan kekuasaan, adalah cara untuk menaikkan status sosial. Status sosial kemudian identik dengan jabatan, kekuasaan dan kepemilikan materi. Sejumlah besar orang meyakini bahwa status sosial yang bagus akan membuat mereka terhormat dalam masyarakat.
Dorongan untuk memburu, mendapatkan, mengontrol dan mempertahankan sesuatu yang bersifat kepemilikan, selain memiliki dasar yang kuat dalam evolusi manusia, juga karena otaknya didisain sedemikian rupa untuk mendukung perilaku ini. Kadar zat otak bernama serotonin yang ada dalam darah memengaruhi dan dipengaruhi oleh status sosial seseorang. Fungsi serotonin dalam mengatur mood dan perilaku berkaitan erat dengan perasaan sejahtera (feeling of wellbeing). Dari sini kemudian para ahli menarik benang merah: status sosial memengaruhi dan dipengaruhi oleh kadar serotonin otak, yang gilirannya meningkatkan perasaan sejahtera. Artinya, status sosial berkait erat dengan perasaan sejahtera. Untuk diketahui, meski berkontribusi dalam kebahagiaan, perasaan sejahtera tidaklah sama dengan kebahagiaan. Perasaan sejahtera itu adalah bagian dari upaya manusia untuk bertahan hidup dengan baik. Menurut Michael McGuire, ahli otak dari UCLA yang meneliti soal ini, kadar serotonin otak yang rendah dapat membuat manusia mengalami perasaan sengsara, seperti depresi, maniak dan irritability. Dalam taraf tertentu, dorongan mendapatkan sesuatu ((drive to acquire) adalah hal yang baik.
Sisi buruk dari dorongan yang termaktub secara alamiah ini adalah dorongan untuk tidak pernah merasa puas. Anda perhatikan: seseorang yang sudah memiliki motor akan selalu terdorong mendapatkan mobil. Mereka yang sudah menempati posisi sebagai wakil ketua akan berusaha untuk jadi ketua. Mereka yang sudah mendapatkan posisi sebagai kepala dinas, bupati, walikota, dll, akan selalu terdorong mendapatkan lebih dari itu. Ada banyak orang yang mengorbankan sesuatu yang sebenarnya sudah bagus hanya untuk mendapatkan sesuatu yang belum jelas. “harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”, kata sebuah pepatah lama. “berapa banyak yang harus kita miliki agar kita punya rasa cukup?”, 2 orang ahli genetika bertanya dan kemudian menelusuri bagaimana gen-gen bekerja atas dorongan ini. “sebisa kita mampu mendapatkannya!” kata Burnham dan Jay Phelan yang menulis buku Mean Genes (Cambridge, 2000). Ini artinya, selagi Anda mampu menggapai dan mencapai sesuatu, Anda akan selalu berusaha mendapatkannya. Karena itu, tak usah heran jika ada orang yang sudah mendapatkan semua jabatan, sudah lemah secara fisik, sudah berpikir terbata-bata, tetapi masih genit mengikuti pencalonan anggota dewan dan sejenisnya. Dorongan untuk mendapatkan thymos (hal-hal yang terkait dengan status dan hirakri sosial)—menurut istilah Plato—menderu-deru dalam pikiran mereka. Kita bahkan tak bisa membedakan bahwa dia juga mengejar Eros (makanan, baju, rumah, dan hal-hal material lain)—menurut istilah Plato. Thymos dan Eros bersatu-padu mengisi benak banyak orang untuk memuaskan dorongan memperoleh sesuatu. Dorongan untuk mendapat sesuatu sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan mendapatkannya dapat menjelaskan mengapa para pengusaha yang sudah kaya raya itu, yang hidupnya sudah damai dan tenang, masih berlelah-lelah, memboroskan uang dan bergerak kesana kemari untuk sebuah jabatan yang menaikkan status sosialnya. “setelah kehidupan pribadi saya lunas, maka saya ingin berbakti pada Negara,” kata seorang kenalan saya. Namun, dalam hatinya, di alam bawah sadar, ia sedang membangun keinginan untuk mendapatkan sesuatu.
Apakah salah jika seseorang bermaksud menaikkan status sosialnya? Menurut saya, tidak salah, sejauh yang bersangkutan memahami dengan baik bahwa ia tak sepenuhnya bisa menguasai dorongan lahiriah yang memang sudah ada dalam pikirannya sejak ia pertama dilahirkan di bumi ini. Ia harus melakukan sesuatu yang membuat drive to acquire itu selalu dalam kendali. Ia butuh orang lain. Ia juga butuh konteks yang tidak memberi ruang pada dorongan lahiriah itu (20/08/2018).
Tinggalkan Balasan