Pace dan Mace (nama samaran) menikah 7 tahun. Pace adalah suami kedua Mace setelah suami pertamanya meninggal kecelakaan mobil. Mace membawa 4 anak dari pernikahan pertama. Pace sendiri pernah menikah, tapi tidak punya anak. Mace bekerja sebagai pegawai kecamatan sedangkan Pace bekerja sebagai ‘pekerja ruhani’. (Istilah ‘pekerja ruhani’ saya pakai secara positif untuk orang-orang yang bekerja sebagai pemberi siraman rohani, pendakwah, pengkhutbah dan sejenis itu, yang tidak ada pekerjaan lain selain itu. Waktu mereka habis untuk mengurus urusan surga dan neraka). 4 tahun pertama hubungan mereka sangat harmonis. Laiknya orang yang cintanya berbunga-bunga, penuh romantisme dan waktu seolah hanya untuk cinta dan bercinta. Tahun ke 5 kesibukan Pace meningkat luar biasa karena mendapat tugas tambahan yang membuatnya harus selalu keluar rumah hingga berbulan-bulan. Menurut Pace, ini pekerjaan Tuhan yang wajib dilakoninya. Menariknya, tugas tambahan ini juga memberikan pandangan baru pada Pace tentang jalan keselamatan untuk masuk surga. Pandangan baru Pace ini secara radikal mengubah pandangan lamanya termasuk dalam urusan doktrin yang sebelumnya menjadi akrab dalam keluarga. Pace juga menjadi hamba yang sangat taat pada pimpinannya. Posisi Mace dikalahkan oleh posisi Pimpinan ini. Pace taat  sepenuhnya pada Pimpinan. Akhirnya, Pace memaksa istri dan anak (tirinya) untuk mengikuti pandangannya alias berpindah ke aliran dia karena menganggap jalan keselamatan Mace adalah jalan sesat dan keliru. Meski sama-sama masuk rumah ibadah yang sama, tetapi perbedaan pandangan soal jalan keselamatan, sangatlah tajam antara Pace dan Mace. Sebagai orang yang sedari kecil dididik dengan doktrin tertentu, sekaligus menjadi aktivis kegiatan keagamaan di kampung, pandangan baru dan ajakan Pace ini sangatlah mengganggu Mace Mace kemudian mengalami masalah emosional dengan sedikit implikasi fisik yang sangat mengganggu hidupnya sehari-hari. Emosi yang sangat terganggu ini membuat kehidupan Mace tidak lagi ceria seperti sebelumnya.

Agama dan Sakit Jiwa

Jika menggunakan diagnosa DSM (diagnostic and Statsitic Manual)-V yang dipakai di Amerika, maka Pace sedang mengalami krisis kedarutaran spiritual (spiritual emergency). Kedaruratan ini dianggap sebagai gangguan jiwa dalam klasifikasi ‘Religious/Spiritual Problem (RS-P)’. Bentuk RSP itu macam-macam:  ada keraguan terhadap doktrin agama yang dianut, ada perpindahan aliran kepercayaan (sekte), ada kultus berlebihan, aliran-aliran sesat, pengalaman mendekati kematian (near death experience), pengalaman-pengalaman mistik, dll. Sayangnya, DSM-V ini belum dipakai di Indonesia. Indonesia masih pakai DSM-III yang diterjemahkan menjadi PPDGJ-3 (Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa) sehingga kasus seperti di atas tidak atau belum dianggap sebagai masalah kejiwaan yang butuh penanganan seorang ahli jiwa. Lagipula, andaikan itu nantinya masuk sebagai bagian dari gangguan jiwa, maka akan ada banyak penderita gangguan jiwa dalam kaitan dengan cara seseorang beragama. Pindah aliran, terlalu keras dalam beragama, kultus berlebihan, meragukan kitab suci dan imannya, dan tidak beribadah secara serius, pun nantinya akan dianggap sebagai gangguan jiwa. Namun, itu juga tidak sederhana. Karena setiap masalah kejiwaan, termasuk dalam membuat diagnosa gangguan jiwa, ada sisi budaya yang sangat penting. Ini dipelajari dalam psikiatri budaya (cultural psychiatry). Sesuatu yang dianggap gangguan jiwa oleh satu budaya belum tentu gangguan jiwa pada budaya yang lain.

Yang dapat kita ambil dari hal di atas adalah kenyataan bahwa agama yang dipraktikkan manusia (realized religion) berpotensi membuat masalah kejiwaan. Ada sisi sisi tertentu dalam pemahaman manusia atas agama yang berpeluang menimbulkan masalah. Dalam istilah James L. Griffith (2009), agama memiliki sisi buruk (harms religion) dan sisi baik (heals religion) ketika dipahami manusia dalam konteks kesehatan. Penyakit (fisik dan mental) memiliki hubungan timbal balik dengan agama seseorang. Kepercayaan itu bisa membantu proses penyembuhan penyakit atau malah memperburuk (seperti contoh kasus Pace-Mace di atas); dan penyakit itu sendiri bisa memperburuk atau memperbaiki kepercayaan seseorang. Anda bisa memerhatikan fakta di rumah sakit bagaimana seorang penderita meletakkan kitab suci di dekat kepalanya, melakukan ritual lebih rajin, mendatangkan para pendoa dan melakukan amalan-amalan tertentu.

Review sistematik yang dilakukan  Harold Koenig (2012) atas ribuan riset perihal hubungan R/S dengan kesehatan didapati bukti bahwa R/S memberikan pengaruh dalam aspek pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi penyakit. Sebagai catatan, dari tahun ke tahun riset perihal hubungan R/S dengan kesehatan makin meningkat secara tajam. Penemuan alat-alat canggih, termasuk pencitraan otak (brain scanning), memungkinkan riset berfokus langsung pada keadaan seketika. Riset pada biarawati Fransiskan yang berdoa melalui nyanyian, orang bermeditasi, pelaku yoga, orang sholat, dll, telah dapat diamati bagaimana performa otak mereka saat itu. Riset genetika oleh Robert Cloninger dan Dean Hamer (2002) juga menunjukkan bagaimana gen-gen manusia dapat berhubungan dengan R/S dan kesehatan. Dari sini lahirlah istilah ‘gen Tuhan’ dari Dean Hamer. Temuan-temuan membuktikan bahwa memang ada hubungan psikobiologis antara gen, perilaku manusia di bidang agama dan kesehatan.

Cara R/S memengaruhi kesehatan

Ajaran agama yang positif (heals religion) memengaruhi perilaku manusia melalui sejumlah prinsip penting, antara lain, optimisme, kendali diri, penerimaan, permaafan, coping, emosi positif dan dukungan sosial. Setidaknya, gaya hidup sehat, kesehatan mental dan emosi positif yang menjadi ajaran agama menjadi variabel penting dalam pencegahan penyakit. Kemampuan menerima pelbagai cobaan dalam hidup (diistilahkan sebagai coping religious) memberikan kekuatan untuk menghadapi kesulitan hidup. Agama menyediakan pandangan yang optimis tentang masa depan. Doktrin agama yang dipahami dengan baik dapat membawa seseorang pada ketahanan hidup yang luar biasa. Coping religious ini mencegah seseorang jatuh dalam kondisi cemas dan depresi. Agama juga melarang sifat-sifat tertentu. Sebagai contoh, sifat suka bermusuhan (hostility) yang berpotensi besar merusak mentalitas orang—sebagaimana itu dilarang agama—diketahui berkontribusi dalam kesehatan organ tubuh. Sehingga mereka yang hidup secara optimis, penuh permaafan, tidak pendendam dan menerima penuh syukur apa yang ada, cenderung lebih baik keadaan kesehatannya dibandingkan mereka yang punya sifat suka bermusuhan itu. Banyak riset membuktikan bahwa rasa syukur yang melahirkan optimism dalam hidup membuat seseorang tercegah dari banyak penyakit fisik dan mental. Dalam konteks ini, ajaran agama berfungsi dalam fase pencegahan penyakit.

Ajaran agama juga berperan pada tahap pengobatan. 29 riset yang memeriksa hubungan R/S dengan muncul (onset) dan hasil akhir kanker menunjukkan bahwa doktrin agama perihal optimisme memberikan pengaruh positif pada hasil akhir kanker. Demikian halnya dengan hipertensi dan penyakit pembuluh darah. Riset yang dilakukan di bagian bedah di RS Kandou dalam hal pengaruh doa dan regulasi nyeri (skripsi,2007) menunjukkan bahwa doa yang dibaca secara teratur memberikan pengaruh bermakna pada rasa nyeri yang diderita penderita kanker. Kajian psikoneuroimunologi menunjukkan bahwa penerimaan dan optimisme seorang penderita kanker berpengaruh dalam sisi imunologisnya. Artinya, meskipun obat-obatan memberikan pengaruh bermakna, tetapi kondisi mental pasien juga berkontribusi besar dalam keberhasilan obat-obatan tersebut. Sejumlah pasien yang dilaporkan sebagai pasien pesimis menunjukkan hasil akhir yang buruk.

Perihal hubungan R/S dan kesehatan merupakan hubungan jamak dan orisinil jika dilihat dalam sejarah kedokteran. Banyak rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan didirikan dan dikelola oleh ruhaniwan (pendeta, biku, ulama , dll). Di Indonesia sendiri realita hubungan itu ada. Setidaknya melalui pernyataan resmi dalam UU Kesehatan nomor 36/2009 dan UU Kesehatan Jiwa nomor 18/2014 yang menyebutkan adanya kesehatan spiritual. Namun, dalam praktiknya hal ini diabaikan sama sekali. Meskipun ada sejumlah riset di beberapa senter pendidikan kedokteran perihal ini, tetapi belumlah menjadi perhatian serius. Dalam dunia yang karut marut seperti saat ini tantangan terbesar dihadapi oleh dunia medis adalah kesehatan dan perawatan yang manusia. Instrumentasi dan alat-alat canggih tidak bisa menggantikan posisi penting manusia yang tidak saja memiliki jasmani, tetapi juga mental dan ruhani. Sudah waktunya kalangan kedokteran menyeriusi hal ini. Jika tidak, maka peluang lahirnya kedokteran berbasis mistisisme (yang keliru) akan menyaingi kemahalan alat-alat kedokteran dan minimnya komunikasi tenaga kesehatan dan pasien (21/10/2018).(*)