CATATAN, Oleh: Meidy Yafeth Tinangon (Komisioner KPU Sulawesi Utara / Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan)

Keadilan Pemilu adalah keadilan berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan opini apalagi interest.

 

SAAT INI, aktivitas peserta Pemilu dalam tahapan kampanye semakin meningkat seiring dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara 17 April 2019.

Para kandidat atau tim kampanye hampir setiap hari memiliki agenda dalam rangka kampanye. Namun demikian, di lapangan ditemui berbagai macam pelanggaran terhadap larangan kampanye.

Diantara larangan kampanye yang dilanggar oleh peserta Pemilu adalah larangan penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Pasal 280 ayat 1 huruf  h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu dilarang:   menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Faktanya, dalam hiruk pikuk masa kampanye saat ini, pelanggaran terhadap ketentuan larangan kampanye pada Pasal tersebut masih terjadi, hingga menyeruak dalam dis kursus dinamika electoral law enforcement dalam tahapan kampanye Pemilu 2019.

Saya membahasakan pelanggaran kampanye tersebut sebagai kampanye di tempat terlarang (locus prohibitus) untuk tidak menyebut secara panjang (tiga) kategori tempat terlarang tersebut.

Ketika pelanggaran itu terjadi, banyak pihak langsung mengarah pada tuntutan sanksi pidana.

Padahal, Undang-undang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan kampanye di Tempat Pendidikan, Tempat Ibadah dan Fasilitas Pemerintah dikategorikan dalam 2 (dua) jenis pelanggaranya itu administratif (Pasal 280 ayat4) atau pidana (Pasal 521).

Terkesan ambigu dan kontradiktif, namun sesungguhnya jika kita menelusuri dengan seksama pasal-pasal tersebut maka kita akan menemui pembedanya.

Berikut coba diuraikan pengaturan sanksi pelanggaran dimaksud dari aspek sanksi administratif dan pidana.

 

Sanksi Administratif

Pengaturan sanksi administrative terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diatur dalam Ketentuan Pasal 280 ayat (4) yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu.

Dalam ketentuan ini larangan pada Pasal 280 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf h (Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan ) tidak termasuk tindak pidana Pemilu. Pelanggaran oleh Pelaksana, Peserta dan Tim Kampanye yang bukan tindak pidana berarti termasuk kategori pelanggaran admnistrasi (junctoPasal 460 ayat 1 dan 2).

Penanganan pelanggaran ketentuanPasal 280 ayat (1) dari sisi penanganan pelanggaran administratif diatur dalam Ketentuan Pasal 309 ayat (2) UU 7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa dalam halter dapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau tim kampanye melakukan pelanggaran kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan/desa, Panwaslu Desa/Kelurahan menyampaikan laporan kepada PPS.

Selanjutnya, ketentuanPasal 310 ayat (1) mewajibkan PPS menindaklanjuti temuan dan laporan pelanggaran Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan / desa sebagaimana dimaksud Pasal 309 ayat (2) dengan:

  1. Menghentikan pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu setelah mendapatkan persetujuan dari PPK;
  2. Melaporkan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan Kampanye Pemilu;
  3. Melarang pelaksana atau tim Kampanye Pemilu untuk melaksanakan Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapat persetujuan PPK; dan/atau
  4. Melarang peserta Kampanye Pemilu untukmeng ikuti Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapatkan persetujuan PPK.

Ketentuan ayat (2) mewajibkan PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

Pola penanganan serupa, terhadap pelanggaranPasal 280 ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Pasal 314 ayat (2) dan Pasal 315 ayat (1) untuk tingkat kecamatan, Pasal 318 untuk tingkat Kabupaten, Pasal 320 untuk tingkat Provinsi, dan Pasal 322 untuk tingkat nasional yang merupakan pola penanganan pelanggaran administrative dalam tahapan Kampanye Pemilu.

Namun demikian apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup tentanga dan yatindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan kampanye, maka temuan dan laporan Panwaslu Desa /Kelurahan kepada PPS) dilaporkan kepada PPK, kemudian PPK

Menindak lanjuti laporan dengan melakukan penyelesaian sebagai manadiaturdalamUndang-undang (Pasal 310 ayat 2)  Penyelesaian di maksud adalah dengan meneruskan laporan dugaan pelangga ran pidana kepada Panwaslu Kecamatan sesuai kewenangannya.

Hal serupa perlu dilakukan KPU Kabupaten/Kota terhadap laporan PPK sebagaimana diatur Pasal 315 ayat (1) huruf b dan ayat (2).

Ketentuan Pasal 280 ayat (4) di atas diikuti KPU ketika menyusun Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, sebagai mana di ubah terakhi r dengan PKPU 33 Tahun 2018,

Sehingga pelanggaran tersebut dikecualikan sebagai tindak pidana Pemilu sesuai bunyi ketentuan Pasal 69 ayat (4) PKPU:

“Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf a sampa idengan huruf  j kecuali huruf h dan huruf h 1, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu”.

Hal serupa diatur Pasal 76 (1): “Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j  kecuali huruf h, dan ayat (2) merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Pemilu”

Selanjutnya dalam Pasal 76 ayat (3) diatur sanksi administratif:Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dikenai sanksi:

  1. Peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau
  2. Penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar kedaerah lain.

 

Sanksi Pidana

Ketentuan pidana terhadap pelanggarank ampanye di tempat terlarang, diatur dalam ketentuan Pasal 521 UU 7 tahun 2017 yang mengamanatkan bahwa:

“Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagai mana di maksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyakRp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”.

Selain sanksi Pidana sebagaimana diatur Pasal 521, pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280, juga memiliki konsekwensi sanksi administratif lanjutan sebagaimana diatu rpasal 285 yaitu: “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang di kenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kotayang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengambil tindakan berupa:

  1. Pembatalan nama calona nggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kotadari daftar calon tetap; atau
  2. Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagai calonter pilih”.

 

Administrasi atau Pidana ?

Jika kita perhatikan rumusanPasal 280 ayat (4) Undang-undang yang mengecualikan pelanggaran larangan kampanye di rumah ibadah, tempat Pendidikan dan fasilitas pemerintah dari kategori pelanggaran Pidana pemilu, dengan Pasal 521 yang mengatur sanksi pidana terhadap pelanggaran tersebut, maka sangat jelas pembedanya terletak pada aspek kesengajaan(dolus).

Rumusan Pasal 521 adalah:

“Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00. (duapuluhempatjuta rupiah)”.

Artinya, pelanggaran terhadap larangan Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempatibadah, dan tempat pendidikan dalam kampanye dapat dikategorikansebagai pelanggaranpidana Pemilu, apabila dapat dibuktikana danya unsure kesengajaan (dolus) dalampe langgaran tersebut.

Biasanya dalam rumusan regulasi tentang sanksi pidana ada dua alasan pidana yaitu Kesengajaan (dolus) & Kealpaan (culpa) / lalai.

Sebagai catatan, dari sekitar 66 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemiludalam UU Nomor 7 Tahun 2017 (Pasal 488-554), sekitar 35 pasal dalam rumusannya diawalidenganfrasa “dengansengaja”. Sisanya, mengatur karena kelalaian (culpa) serta untuk pelanggaran tertentu dalam pasal-pasal tersebut langsung dikenai sanksi.

Pembuktian terhadap aspek Pidana merupakan kewenangan Sentra Gakkumdu dan pengadilan. Apabila tidak terbukti adanya aspek kesengajaan, maka pelanggaran tersebut merupakan kategor ipelanggaran administratif.

Hukum pidana menegaskan bahwa seseorang baru dapat dimintai tanggungjawab kalau ia mempunyai (unsur) kesalahan.

Unsur kesalahan dalam hukum pidana dapat berupa sengaja atau kelalaian.  Dalam ketentuan Pasal 521 yang ditekankan hanya aspek kesengajaan.

Aspek “sengaja” oleh para ahli hukum pidana memang menjadi bagian penting dalam pemidanaan. Djoko Prakoso dalam bukunya Tindak Pidana Pemilu, terbitan Sinar Harapan (1987) sebagaimana dikutip Susanto dalam sebuah tulisannya berjudul Karakteristik Tindak Pidana Pemilu Dalam Sistem Hukum Indonesia sebagaimana dipublikasi dalan Journal of Legal and Policy Studies (2016), memberikan pengertian Tindak Pidana Pemiludengan:“Setiap orang, badan hukum atau pun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang”.

Amania (2009) dalam karyatulis hukum bertajuk: Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu Dalam Masa Kampanye Pada Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menulis bahwa untuk membuktikan bahwa suatu pelanggaran kampanye memenuhi unsure kesengajaan harus memenuhi memenuhi persyaratan :

  • Terdakwa menghendaki dan mengetahui (willesan weten) terjadinya serta akibat tindak pidana tersebut;
  • Perbuatan tersebut timbul dari niat terdakwa dan diwujutkan secara aktif oleh terdakwa;
  • Perbuatan tersebut sesuai dengan unsur-unsur dan pelaksanaan suatu kampanye pemilu menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari uraian di atas, dengan demikian dapat disebutkan bahwa tidak bisa secara otomatis, pelaku dugaan pelanggaran kampanye di tempat yang dilarang dikenakan sanksi pidana. Hal mana sangat tergantung pada bagaimana pihak Bawaslu dan Gakkumdu mampu membuktikan terpenuhinya unsur kesengajaan (dolus). Jika tidak terpenuhinya unsure tersebut, kemudian penyidikan terus dilanjutkan bahkan sampai kepengadilan, maka berpeluang terjadi suatu kondisi error in persona atau mengadili dan menghukum seseorang yang tidak bersalah.

 

Konklusi

Setiap Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu termasuk calon anggota DPR/DPRD/DPD dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan dalam setiap kegiatan / metode kampanye.

Jika pelanggaran tersebut terjadi maka terdapat dua kemungkinan kategori pelanggaran yaitu pidana atau administratif. Jika terbukti Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye melakukan pelanggaran karena kesengajaan maka hal tersebut dikategorikan pidana Pemilu yang dikenakan sanks ipidana.

Jika tidak terbukti aspek pidana, maka berarti memenuhi aspek administrative yaitu pelanggaran prosedur dan dikenai sanksi administratif.

Setiap proses terhadap suatu pelanggaran sifatnya adalah dugaan (Allegation) yang masih harus dibuktikan melalui prosedur yang diatur. Baiknya, setiap orang menghindari sikap gegabah menilai pemberian sanksi sebelum proses pemeriksaan dan pembuktian berlangsung, apalagi memaksakan kehendak tanpa dasar yang jelas. Biarlah proses hukum berjalan menurut rel prosedur hukum yang diatur regulasi.

Keadilan Pemilu adalah keadilan berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan opini apalagi interest.