MANADO – Perkembangan literasi di Sulawesi Utara kini mulai mengalami peningkatan. Hal tersebut diungkap Duta Literasi Sulut, Faradillah Bahmid. Menurutnya kenaikan minat cukup signifikan. Meski demikian literasi digital dinilai lebih diminati kaum milenial saat ini.
Perempuan yang juga pendiri Pegiat Literasi Sulut ini mengungkap naiknya minat literasi di Sulut dilihat dari semakin banyaknya pojok baca dan ruang-ruang diskusi.
“Kalau minat literasi sejak 2016 hingga saat ini kenaikannya cukup signifikan. Bisa dilihat dari makin banyaknya pojok-pojok baca tersebar di sejumlah warung kopi di Sulut. Di samping itu ruang-ruang diskusi juga makin banyak di gelar, ini tandanya memang ada peningkatan,” terangnya, Rabu (4/9/2019).
Meski begitu Faradillah menganggap hal tersebut masih perlu ditingkatkan. Dirinya menambahkan, saat ini minat baca kaum milenial lebih kepada bacaan digital. Tak bisa dipungkiri, penggunaan gawai dalam kehidupan sehari-hari membuat milenial beralih ke kecanggihan teknologi tersebut.
Bacaan digital ternyata tidak serta merta menggeser penggemar buku fisik. Faradillah mengaku sempat melakukan survei kecil ke salah satu toko buku terkenal di Sulut, hasilnya peminat buku fisil masih cukup banyak, khususnya buku-buku keluaran terbaru dan kekinian.
“Pembaca buku fisik masih cukup banyak juga, khususnya buku kekinian, mungkin salah satu faktor penyebabnya budaya follower, yang masih dimiliki anak muda. Ketika melihat sesuatu yang kekinian dan ‘happening’ kecenderungannya ingin punya dan baca juga,” ungkapnya, kemarin.
Terpisah, mahasiswi Sastra Jerman FIB Unsrat yang juga menggemari aktivitas literasi, Gina Puspita turut membenarkan kecenderungan membaca milenial di Sulut yang cenderung tertarik bacaan digital.
“Milenial tak hanya di Sulut, di Indonesia juga banyak yang kecenderungannya membaca lewat gawai dibanding bacaan fisik. Berita contohnya, pembaca koran dari kaum milenial terlihat lebih sedikit dibanding pembaca online,” ujarnya.
Mahasiswi yang baru saja mengikuti pelatihan di Jerman ini mengisahkan pengalamannya saat mengikuti pelatihan di salah satu negara terkenal di Eropa tersebut.
“Di Jerman kebetulan saya mengunjungi salah satu kota literasi, di situ hampir tiap pojok kota ada rak berisi buku yang bisa di ambil oleh siapa saja dan siapa saja boleh mengisi buku di rak tersebut, penggemar buku fisik masih banyak, jadi tradisi literasinya tumbuh dengan baik di sana. Kalau di sini mungkin susah diterapkan,” tuturnya.
Dirinya berharap, masyarakat khususnya milenial di Sulut kedepannya lebih menghargai buku dan mengembangkan tradisi literasi. (Ilona piri)
Tinggalkan Balasan