Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 pasal 1 ayat (1) bahwa pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilu sendiri diharapkan dapat menjaring pemimpin-pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat, dimana proses ini merupakan implementasi dari sistem demokrasi.

Suara dari masyarakat dalam pemilu memberikan arti penting bagi pelaksanaan demokrasi di sebuah negara. Pemilu juga bertujuan untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan baik di eksekutif maupun legislatif, membentuk pemerintahan yang demokratis, memperoleh dukungan rakyat serta dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Kecurangan-kecurangan dalam pemilu saat ini sangat marak terjadi.

Hal tersebut diakibatkan kurangnya pengawasan dari pihak berwenang dan kurangnya kesadaran masyarakat akan hakikat demokrasi dalam pemilu itu sendiri.

Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang jujur dan adil. Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, pengrusakan alat peraga kampanye/atribut sosialisasi dan berbagai praktik curang lainnya yang pastinya mempengaruhi iklim demokrasi di suatu daerah.

Maraknya pengrusakan atribut sosialisasi dalam bentuk ucapan selamat Natal dan Tahun Baru di Kota Tomohon dinilai menjadi suatu kemunduran dalam berdemokrasi, ada upaya-upaya dalam melemahkan sistem demokrasi di Kota Tomohon oleh oknum-oknum primitif. Sungguh ironis demokrasi yang terjaga selama kurun waktu 15 tahun ini mengalami kemunduran dikarenakan sikap oknum-oknum tidak patuh hukum, gagal paham politik, dan tidak menghargai adat budaya orang Tomohon sebagai daerah pinaesaan wo pinasungkulan, wanua meitutul ni Lontoh, Paat wo Supit. Hal ini tentunya berdampak pada penurunan indeks aspek kebebasan sipil, dan aspek hak-hak politik warga.

Perbedaan pendapat, besar maupun kecil, sederhana maupun prinsipil seharusnya di sikapi dengan arif dan bijaksana, baik para kandidat, pendukung dan simpatisan kiranya harus tetap mengindahkan nilai-nilai ke­san­tunan, kepatutan, akhlak mulia, serta men­jauhkan diri dari praktik politik tidak sehat. Jadikan momentum pilkada ini sebagai sarana pertarungan visi-misi, ide dan gagasan setiap kandidat dan para pendukung maupun simpatisan, jangan memantik pertikaian sosial yang menciptakan kesenjangan bahkan jurang antar sesama warga masyarakat Kota Tomohon. Ciptakan dan rawat politik yang sehat di Kota Tomohon untuk Kota Tomohon kita tercinta.

Provokasi, hoax atau apapun namanya dalam tahun politik memang sudah menjadi hal yang wajar demi mencapai tujuan yang bukan lain adalah perolehan suara hingga kemenangan mutlak. Namun perlu diingat, bahwa semangat demokrasi harus berangkat dari kejujuran dan keadilan. Agar nantinya para calon yang terpilih dapat menjadi “duta-duta” rakyat yang jujur dan adil sehingga tercermin dalam setiap perbuatan, kebijakan dan keputusannya.

Mari sebagai warga masyarakat Kota Tomohon yang dikenal cerdas, berkarakter, toleran, religius, demokratis dan terlebih kita orang tombulu selalu timion um pahkuan mahesa-esaan, mahsawa-sawangan, mahtombo-tombolan, mahsigi-sigian, wo mahkiit un tutuzu ne tua em peleng-peleng i papa ayo wazi Opo Empung wana natas, kita ciptakan Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kota Tomohon tahun 2020 yang berkualitas, bermartabat, aman, damai, jujur, adil dan demokratis. Pakatuan wo Pakalawizen. (*)