MANADO – Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang rencananya digelar  2024 mendatang dinilai oleh Pengamat Politik Ferry Liando akan berpotensi menimbulkan banyak masalah, meski dilaksanakan di bulan berbeda.

Sebab, Pemilu maupun Pilkada 2024 nanti masih menggunakan Undang-Undang (UU) yang sama dengan UU Pemilu 2019. “Maka permasalahan yang terjadi pada Pemilu 2019 kemungkinan besar masih akan kembali terjadi,” ungkapnya.

Hal itu disampaikan oleh Liando dalam diskusi Pemilu bertemakan “Masalah-Masalah Pemilu”, yang digelar Konsorsium Ilmu Politik untuk Pemilu, kerja sama KPU RI dan Universitas Sumatera Utara (USU), Kamis (15/7/2021).

Dia menjelaskan, DPR dan Pemerintah telah menyepakati bahwa Pemilu 2024 masih akan menggunakan UU yang digunakan pada Pemilu 2019, yaitu UU 7/2017. Padahal, dinamika Pemilu 2024 sangat berbeda dengan pelaksanaan pemilu periode sebelumnya.

Menurut peneliti kepemiluan ini, penetapan ambang batas 20 persen kursi bagi parpol atau gabungan parpol untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden berpotensi memicu dua polarisasi besar di masyarakat, sehingga rawan memecah belah keutuhan bangsa.

“Efek polarisasi itu masih terasa hingga saat ini. Sentimen SARA dan siasat membangun kebencian terhadap pemerintah makin kuat,” beber Sekjen Asosiasi Ilmu Politik Indonesia itu dalam diskusi yang digelar secara daring.

Ferry Liando saat memaparkan materi dalam diskusi daring bertemakan “Masalah-Masalah Pemilu”. (Foto: Sindomanado.com)

Penggunaan UU Nomor 7 Tahun 2017 juga, kata Dosen Tata Kelola Pemilu Pascasarjana Unsrat itu, berpotensi terjadinya kembali peristiwa 894 anggota KPPS meninggal dunia, karena tekanan pekerjaan sangat berat.

“Karena tugas, kewajiban dan wewenang paten mengikuti pasal 59, 60, 61, dan 62 UU 7/2017 termasuk soal ketentuan jumlah. KPU tidak mungkin mengeluarkan kebijakan baru untuk mengurangi beban kerja dan jumlah KPPS karena terikat oleh UU,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, penggunaan UU Nomor 7 tahun 2017 juga, disebut Liando, masih akan memunculkan masalah lain. “Adanya permohonan sejumlah parpol untuk mengganti calon DPR dan DPRD padahal berdasarkan data KPU bahwa calon yang bersangkutan memperoleh suara terbanyak,” tukasnya.

“Di satu sisi ada ruang bagi parpol untuk mencabut keanggotaan parpol calon yang bersangkutan sebagai dasar penggantian, tapi di satu sisi sikap ini sama halnya dengan mengabaikan kedaulatan rakyat,” beber Liando..

Ia juga menyoroti potensi munculnya banyak risiko jika Pemilu dan Pilkada dilakukan secara bersamaan di tahun yang sama. Ia menyebutkan, pada Pemilu tahun 2019, DKPP menerima sebanyak 1.027 aduan dugaan pelanggaran etik penyelenggara.

Jumlah penyelenggara yang mendapatkan sanksi peringatan sebanyak 1.019 orang (41,5 persen), terdapat 33 penyelenggara (1,3 persen) mendapatkan sanksi pemberhentian dari jabatan. “Pilkada 2024 nanti, jika sidang dilakukan setelah pemilu, maka konsentrasi penyelenggara pada tahapan Pilkada akan terganggu,” ungkapnya.

“Apalagi yang menghadiri sidang adalah pihak teradu yang kerap melibatkan semua penyelenggara, baik KPUD maupun Bawaslu. Proses pergantian antar waktu untuk penggantian penyelenggara yang dipecat pasti akan membutuhkan waktu panjang,” tutur Liando.

Pada sisi lain, dirinya turut menyoroti kesiapan lembaga-lembaga peradilan, yaitu Bawaslu ataupun MK. Menurutnya kesiapan lembaga-lembaga tersebut harus maksimal karena jumlah permohonan perkara Pilkada 2024 sangat mungkin lebih meningkat ketimbang Pilkada 2020 lalu.

“Kesepakatan lainnya adalah menetapkan tahapan pemilu 2024 akan dimulai pada Maret 2022 atau 25 bulan sebelum pencoblosan. Persiapan dengan waktu yang panjang tentu menjadi sebuah modal terutama dalam rangka mengoptimalkan kegiatan-kegiatan tertentu seperti seleksi penyelenggara pemilu, penganggaran dan penyusunan daftar pemilih. Namun demikian hal ini belum akan menjamin manakala kesiapan stakeholder tidak dioptimalkan,” jelasnya.

Kata Liando, diperlukan satu visi dan acuan bersama untuk bagaimana memulai, menghadapi, dan menyelesaikan secara bersama-sama. “Kepentingan memacu serapan anggaran masing-masing institusi, beda persepsi terhadap aturan, saling menyalahkan satu sama lain dan berusaha menjadi yang paling baik menjadi salah satu sebab gelaran Pemilu dan Pilkada tidak optimal,” bebernya.

Makanya, semua pemangku kepentingan harus menyepakati satu visi dengan peta jalan yang sama. “Atas kesepakatan itu maka semua pemangku dapat memulai perjalanan bersama-sama,” kata Liando.

“Juga melakukan identifikasi bersama terhadap masalah yang berpotensi mengganggu, menyelesaikan masalah secara bersama-sama jika dalam satu titik jalan terbentur masalah, belok arah bersama-sama dan menyelesaikan perjalanan secara bersama-sama,” tegasnya.

Peta jalan adalah panduan yang bisa digunakan sebagai petunjuk dalam mengarahkan jalan, di pelaksanaan suatu program kegiatan dalam kurun waktu tertentu. Terdapat sejumlah aktivitas yang membutuhkan kesepakatan bersama.

Misalnya keakuratan DP4 milik pemerintah sebagai pertimbangan penyusunan daftar pemilih. Ketepatan dalam penetapan NPHD, persepsi hukum Bawaslu, polisi dan jaksa. Selama ini kerap berbeda pendapat dalam penanganan perkara.

Koordinasi Bawaslu, KASN dan pemerintah daerah dalam penanganan netralitas ASN, persepsi Parpol dengan KPU dalam hal pembatalan calon DPR/DPRD terpilih, penyamaan persepsi antara KPU Bawaslu dan DKPP terkait penanganan pelanggaran administrasi.

“Perlu pembahasan bersama antara KPU dan DKPP tentang persyaratan pencalonan baik untuk pemilihan legislatif ataupun Pilkada. Perlu pembahasan bersama antara KPU dan Bawaslu terkait putusan pembatalan calon setelah penetapan perolehan suara oleh KPUD,” tambahnya.

Dia menjelaskan, persoalan-persoalan yang disebutnya itu hanyalah segelintir dari banyaknya persoalan yang terjadi. “Masih banyak persoalan lain yang segera diselesaikan secara bersama-sama oleh pemangku kepentingan sebelum memulai perjalanan,” pungkas Liando.

“Perjalanan menuju Pemilu amatlah panjang. Kondisi ini menjadi momentum juga bagi parpol untuk mempersiapkan kader-kader dengan baik untuk bisa mengikuti kontestasi itu. Persiapan memilih kader-kader potensial akan meminimalkan terjadinya mahar, dinasti dan politik uang. Tiga penyakit ini sering terjadi karena proses kaderisasi parpol yang sangat buruk,” imbuhnya.

Sekadar diketahui, dialog yang digelar melalui sambungan zoom meeting itu juga diikuti oleh Anggota KPU RI Evi Novida Ginting sebagai pembicara utama, dengan beberapa pembicara lain yang juga berkompeten. (Fernando Rumetor/*)