MANADO- Salah satu cara untuk mencegah terjadinya golongan putih (golput) pada Pilpres 2024 adalah memerlukan calon alternatif sebagai calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024.
“Hasil penelitian yang pernah saya dilakukan di tahun 2015, menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, salah satunya disebabkan karena kejenuhan pemilih terhadap calon-calon yang tampil berkompetisi pada pemilu,” ujar Dosen Kepemiluan, Ferry Daud Liando.
Lanjut dia, calon alternatif tidak hanya merujuk pada aktor politik akan tetapi merujuk juga pada institusi politik. Kejenuhan pemilih disebabkan pula karena partai politik peserta pemilu hanya berganti-ganti pada dua atau tiga parpol itu-itu saja. Apalagi performa parpol-parpol itu tidak mengarah pada perbaikan demokrasi. Korupsi makin merjalela, pelayanan publik makin buruk dan harga konsumsi makin mahal dan menyulitkan masyarakat.
Hanya saja, kata Liando, konstitusi maupun UU 7 tahun 2017 tidak memberikan ruang bagi publik untuk memunculkan calon alternatif. Calon presiden hanya bisa diusung oleh parpol. “Jadi suka atau tidak suka, siapa calon yang di usung parpol harus diterima masyarakat. Parpol yang bisa mengusung calon hanyalah parpol yang memiliki kursi sebanyak 20 persen hasil pemilu 2024. Jika angka itu tidak cukup maka suatu parpol bisa bergabung dengan parpol lain,” ujarnya.
Kata akademisi Unsrat ini, UU tidak memberi jalur lain untuk mengusung calon presiden selain parpol. “Kita tidak dimungkinkan untuk mengusung calon dari jalur independen seperti di USA,” sebutnya. Untuk mencegah desakan calon alternatif, sangat tergantung pada peran parpol. Parpol harus selektif menyeleksi calon. Banyak figur-figur yang sudah teruji, tidak korup, visioner dan nasionalis tapi tidak diberi ruang oleh parpol untuk menjadi calon. Parpol juga kerap hanya terjebak pada hasil-hasil survey dan pemodal. Padahal hasil survey hanya sebatas mengukur popularitas, bukan mengukur kinerja, kejujuran dan visi. (Redaksi)
Tinggalkan Balasan