Adapun, untuk menurunkan prevalensi stunting di Sulut maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti penanganannya harus komprehensif, masif dan terstruktur mulai dari Pemerintah Provinsi sampai di Kabupaten/Kota dan di Desa/Kelurahan. 

Pemanfaatan infrastruktur juga harus diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan karena hampir sebagian ditemukan anak yang stunting berasal dari keadaan ekonomi kurang memadai. 

Disebutkan Joice, kolaborasi dengan TNI/Polri, organisasi keagamaan untuk penanganan bersama serta penanganannya secara Hulu dan Hilir. 

“Ciptakan jejaring bersama media massa untuk edukasi ke masyarakat tentang stunting. Presiden Jokowi mengatakan stunting bukan hanya urusan tinggi rendahnya badan tapi yang terpenting dan berbahaya adalah rendahnya kemampuan untuk belajar, keterbelakangan mental dan mudah muncul penyakit kronis,” paparnya.

Sementara itu, Kepala bidang Pemenuhan Hak Anak (PHA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulut Nita Tarumingkeng dan Psikolog Klinis Dinas PPPA Provinsi Sulut Ni Ketut Suartini mengatakan jika berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022 dimana Provinsi sulut memiliki SSGI sebesar 20,5. 

Adapun Kabupaten/Kota tertinggi SSGI yakni Kabupaten Boltim sebesar 30,0, lalu Bolsel 27,9, Mitra 26,5, Kepulauan Talaud 26,0, Bitung 23,5, Kota Kotamobagu 22,9, Bolmut 21,7, Minut 20,5, Minsel 19,2, Bolmong 19,0, Kepulauan Sangihe 18,5, Manado 18,4, Minahasa 16,5, Kepulauan Sitaro 14,4 dan Kota Tomohon 13,7. 

Dalam kesempatan tersebut, disepakati rencana aksi kerjasama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulut dan IWO Sulut untuk kegiatan sosialisasi serta publikasi program akselerasi penanganan Stunting. 

Bahkan DP3A Sulut berharap bisa bermitra dengan IWO Sulut dalam penanganan masalah stunting termasuk di kabupaten/kota di Sulut. (Fernando Rumetor)