MANADO – Penanganan masalah Stunting menjadi permasalahan yang terus digenjot oleh pemerintah era Presiden Indonesia Joko Widodo.
Pemerintah daerah di Indonesia termasuk Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pun ditugaskan agar bergerak untuk menangani stunting hingga ke pelosok daerah terpencil.
Namun, untuk menangani stunting atau gagal tumbuh akibat kurangnya asupan gizi, di mana dalam jangka pendek dapat menyebabkan terganggunya perkembangan otak, metabolisme dan pertumbuhan fisik pada anak, itu tidak selamanya menjadi tugas pemerintah.
Hal itu dikatakan Dra Joice Worotikan dari Yayasan Pelita Kasih Abadi (YPeka) Manado saat Dialog Interaktif bertajuk “Prevalensi dan Problematika Stunting di Sulawesi Utara” bersama IWO Sulut.
Dialog Interaktif yang di moderatori oleh Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Sulut Jeane Rondonuwu ini digelar oleh IWO Sulut di Sekretariat IWO Jl Mogandi 12 Malalayang Satu, Sabtu (11/3/2023).
“Penanganan stunting ini harus dari hulu (level kebijakan) hingga hilir (level akar rumput) dalam bentuk sosialisasi secara masif tentang stunting, dampak yang ditimbulkan, urgensinya penanggulangan dan upaya penanggulangan sebagai bentuk preventif individual tanpa bergantung pada pemerintah saja,” jelasnya.
“Sebab stunting adalah masalah bersama dan mendesak untuk ditangani semua pihak dengan segera tanpa menunggu apapun,” tutur Joice.
Dikatakannya, ada beberapa hal yang menjadi kunci agar penanganan stunting bisa optimal seperti perkuat kader posyandu untuk pemenuhan gizi anak, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung di puskesmas serta posyandu.
Kemudian perkuat pendataan yang signifikan berdasarkan by name by address, edukasi kepada para calon ibu untuk menjaga kesehatan reproduksi, pemeriksaan berkala bagi ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi anak-anak, sanitasi berbasis lingkungan dan masih banyak lainnya.
“Sosialisasi juga perlu. Contohnya sosialisasi di rumah ibadah seperti gereja dan mesjid, media sosial serta perlunya ada penganggaran dari APBN/APBD hingga dana desa,” ungkap Joice.
Adapun, untuk menurunkan prevalensi stunting di Sulut maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti penanganannya harus komprehensif, masif dan terstruktur mulai dari Pemerintah Provinsi sampai di Kabupaten/Kota dan di Desa/Kelurahan.
Pemanfaatan infrastruktur juga harus diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan karena hampir sebagian ditemukan anak yang stunting berasal dari keadaan ekonomi kurang memadai.
Disebutkan Joice, kolaborasi dengan TNI/Polri, organisasi keagamaan untuk penanganan bersama serta penanganannya secara Hulu dan Hilir.
“Ciptakan jejaring bersama media massa untuk edukasi ke masyarakat tentang stunting. Presiden Jokowi mengatakan stunting bukan hanya urusan tinggi rendahnya badan tapi yang terpenting dan berbahaya adalah rendahnya kemampuan untuk belajar, keterbelakangan mental dan mudah muncul penyakit kronis,” paparnya.
Sementara itu, Kepala bidang Pemenuhan Hak Anak (PHA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulut Nita Tarumingkeng dan Psikolog Klinis Dinas PPPA Provinsi Sulut Ni Ketut Suartini mengatakan jika berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022 dimana Provinsi sulut memiliki SSGI sebesar 20,5.
Adapun Kabupaten/Kota tertinggi SSGI yakni Kabupaten Boltim sebesar 30,0, lalu Bolsel 27,9, Mitra 26,5, Kepulauan Talaud 26,0, Bitung 23,5, Kota Kotamobagu 22,9, Bolmut 21,7, Minut 20,5, Minsel 19,2, Bolmong 19,0, Kepulauan Sangihe 18,5, Manado 18,4, Minahasa 16,5, Kepulauan Sitaro 14,4 dan Kota Tomohon 13,7.
Dalam kesempatan tersebut, disepakati rencana aksi kerjasama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulut dan IWO Sulut untuk kegiatan sosialisasi serta publikasi program akselerasi penanganan Stunting.
Bahkan DP3A Sulut berharap bisa bermitra dengan IWO Sulut dalam penanganan masalah stunting termasuk di kabupaten/kota di Sulut. (Fernando Rumetor)
Tinggalkan Balasan