JAKARTA—Kebijakan pemerintah membuka izin operasional seluruh moda transportasi di tengah pandemi korona (Covid-19) dinilai membingungkan masyarakat. Kebijakan ini terkesan kontradiktif dengan kebijakan larangan mudik untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Menteri Perhubungan Budi Karya mengizinkan semua moda transportasi baik udara, laut, dan darat mulai kembali beroperasi, Kamis (7/5/2020). Kebijakan ini menurutnya merupakan bentuk penjabaran dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25/2020 tentang Pengaturan Transportasi saat Mudik Lebaran.
Kendati demikian, beroperasinya seluruh moda transportasi ini bukan merupakan bentuk relaksasi larangan untuk mudik. Moda transportasi tersebut hanya diperuntukkan bagi pihak-pihak tertentu seperti para pejabat Negara, tenaga medis, maupun masyarakat yang harus melakukan perjalanan ke luar daerah dengan alasan mendesak. Tak pelak aturan ini memunculkan kebingungan masyarakat.
“Efeknya tentu masyarakat bingung. Masyarakat tidak boleh mudik tapi moda transportasi dibuka,” kata Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho. Riant menilai bahwa hal ini sangat rentan menimbulkan penyelewengan. Pasalnya dengan alasan berbisnis bisa saja tetap mudik. “Ini membuka peluang penyelewengan. Misalnya apa yang menjadi standar bisnis? Saya bisa ke Semarang untuk bisnis .Terus ini bagaimana memastikannya? Apakah Gugus Tugas mau mengeluarkan surat keterangan bisnis ribuan?” paparnya.
Bahkan Dewan pakar Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia ini menilai kebijakan ini bisa menimbulkan ketidakadilan. Pasalnya kemungkinan besar peluang penyelewengan ada di moda transportasi udara. “Kalau kita lewat darat pasti disuruh putar balik oleh polisi. Tapi mungkin tidak yang di bandara disuruh balik? Ini bisa menjadi ketidakadilan sosial dan melanggar Pancasila,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa kebijakan yang dibuat saat korona harus ada kajiannya sehingga jelas alasannya. Dia mengingatkan jangan sampai kebijakan hanya dibuat atas dasar keinginan. Sehingga jelas tujuan, risiko hingga mitigasi yang dilakukan nantinya. “Tapi kalau sampai ada pertentangan dengan kebijakan yang lain berarti ada kemungkinan kebijakan ini tidak pakai kajian. Tapi pakai rapat. Rapat itu bukan kajian. Ini sebenarnya penyakit kebijakan di Indonesia dan rata-rata negara berkembang lain,” ungkapnya.
Bahkan, dia menilai bahwa hal ini bisa menjadi salah satu indikator adanya defisit tata kelola pemerintahan. Menurutnya kebijakan yang dihasilkan biasanya tidak berkualitas dan sering bertabrakan. “Kalau melihat ini undermanage governance. Korona ini mendadak dan organisasi pemerintah tidak siap menghadapinya,” ungkapnya.
Riant mengatakan pemerintah harusnya dalam membuat kebijakan disertai kajian dengan data komprehensif. Sehingga jika kebijakan dikeluarkan dan menimbulkan dampak sudah ada langkah mitigasinya.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno mengatakan bahwa SE Gugus Tugas Nomor 4/ 2020 merupakan penjelasan teknis Permenhub Nomor 25/2020 yang memberikan pengecualian pembatasan perjalanan. Dimana SE Gugus Tugas ini menjelaskan beberapa keperluan yang dikecualikan dalam pembatasan perjalanan tersebut.
“Orang-orang yang bekerja pada lembaga pemerintah atau swasta yang menyelenggarakan kegiatan seperti pelayanan percepatan penanganan Covid-19, pelayanan pertahanan keamanan, dan ketertiban umum. Pelayanan kesehatan, pelayanan kebutuhan dasar, pelayanan pendukung layanan dasar dan dan pelayanan fungsi ekonomi penting,” ungkapnya.
Kemudian hal lain yang dikecualikan adalah perjalanan pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan darurat. Termasuk perjalanan orang yang anggota keluarga intinya sakit keras atau meninggal dunia.
Dia mengatakan pengecualian juga untuk repatriasi pekerja migran indonesia (PMI), WNI, dan pelajar/mahasiswa yang berada di luar negeri. Lalu pemulangan orang dengan alasan khusus oleh pemerintah sampai ke daerah asal sesuai ketentuan yang berlaku. “Jadi, mudik bukanlah yang dikecualikan dalam pembatasan perjalanan. Artinya, mudik tetap dilarang,” pungkasnya. (Koran Sindo)