KATANYA ini era digitalisasi. Semua serba cepat. Serba mudah. Serba-serbi. Tambah hari, tambah tahun, kebutuhan akan listrik semakin tinggi. Satu jam saja listrik padam di ibu kota, media sosial (Medsos) ramai.
Keluh mengeluh. Kecam mengecam. Bagaimana dengan warga di Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe?
Listrik masih sebuah kemewahan. Warga di sana pun lupa mengeluh saat malam datang. Gelap. Penerangan seadanya, sudah jadi teman sehari-hari. Bukan hanya sejam dua jam.
Sehari dua hari. Kondisi ini sudah terjadi bertahun-tahun. Warga di sana mengandalkan potensi perikanan.
Tentu sangat membutuhkan listrik. Bukan untuk sekadar nonton televisi, mengisi batrei ponsel
Tapi nelayan di sana perlu es balok untuk mengawetkan hasil tangkapan. Mereka sudah menunggu lama janji para politisi yang sempat pencitraan di momen kampanye.
Keluguan warga seolah dimanfaatkan untuk meraup suara. Janji akan membangun jaringan listrik tak kunjung terealisasi.
Kondisi ini tak lantas membuat warga angkat tangan tanda menyerah. Bersama pemerintah kampung, warga mencari solusi dengan menghadirkan listrik desa yang dibeli dengan ADD. Setiap masyarakat dipungut biaya bulanan.
Tapi, pasokan listrik kampung hanya berkisar empat sampai lima jam saja per hari. Tentu saja untuk membuat es balok untuk kebutuhan nelayan sangat tidak mungkin.
Ada yang memprodusi es balok di rumah namun es yang dihasilkan tidak bertahan lama.
Belum lagi kebutuhan listrik bagi kantor pemerintah, sekolah dan puskesmas, sehingga pemerintah kecamatan harus mampu menyiasati agar pelayanan di kantor bisa terpenuhi, demikian juga di sekolah-sekolah sangat bergantung pada asupan listrik untuk mendukung kurikulim.
Masalah lain juga adalah kebutuhan listrik untuk medis, bisa dibayangkan kebutuhan listrik di puskesmas jika listrik kampung padam.
Tinggalkan Balasan