JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga pertengahan tahun ini telah mencapai Rp330,2 triliun. Realisasi defisit anggaran itu setara dengan 2,01% produk domestik bruto (PDB).
“Realisasi defisit APBN kita saat ini cukup besar, karena itu dampaknya terhadap defisit APBN akan sangat besar hingga akhir tahun,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual,” Selasa (25/8/2020).
Dia merinci, belanja negara hingga 31 Juli 2020 tercatat senilai Rp1.252,4 triliun atau 45,7% dari pagu Rp2.739,2 triliun. Realisasi belanja negara itu tumbuh 1,3% dibandingkan penyerapan per akhir Juli tahun lalu yang senilai Rp1.236,3 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan perpajakan hingga Juli 2020 tercatat senilai Rp711 triliun atau 50,6% dari target Rp1.404,5 triliun. Performa ini mencatatkan kontraksi 12,3% dibandingkan realisasi akhir Juli 2019 senilai Rp810,6 triliun. Sedangkan realisasi pendapatan negara tercatat senilai Rp922,2 triliun atau terkontraksi 12,4% dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu Rp1.052,4 triliun. “Realisasi pendapatan negara itu setara dengan 54,1% dari target senilai Rp1.699,9 triliun,” katanya.
Dia menambahkan, kenaikan defisit hingga 79,5% dibandingkan tahun lalu yang sebesar 183% menggambarkan penerimaan mengalami tekanan. “Belanja naik akibat Covid-19 dan oleh karena itu dampaknya ke defisit sangat besar. Sampai akhir tahun estimasi 6,34% dari PDB, sampai akhir Juli defisit adalah 2% dari PDB,” jelasnya. Belanja negara mencapai Rp1.252,4 triliun diprioritaskan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Realisasi tersebut setara 45,72% target perubahan APBN berdasarkan Perpres 72/2020 yakni senilai Rp2.739,2 triliun. “Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) adalah Rp419,6 triliun atau 50,2% dari total belanja K/L yang ada di dalam Perpres, pertumbuhannya flat 0% dibandingkan tahun lalu,” kata Menkeu.
Menkeu merinci, untuk belanja non K/L yaitu sebesar Rp374 triliun atau 32,8%. Angka ini naik cukup besar yaitu 9,5% karena banyak program-program PEN memang dimasukkan dalam pos belanja non K/L. Adapun, belanja pemerintah pusat yaitu Rp793,6 triliun atau 40% dari total belanja di dalam Perpres 72/2020 hanya tumbuh 4,2% dibandingkan belanja tahun lalu pada bulan Juli di mana tumbuh 9,2%. Peningkatan kinerja realisasi belanja Pemerintah Pusat tersebut terutama dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial yang mencapai Rp117,04 triliun atau tumbuh 55,9%. “Ini yang menyebabkan belanja non K/L kita nanti akan mengalami kenaikan. Kalau dilihat, posnya Rp1.138,9 triliun itu naik luar biasa dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp778, 9 triliun,” jelas Menkeu.
Kenaikan belanja negara tersebut tak dibarengi dengan peningkatan penerimaan dari sektor pajak. Realisasi pajak hingga akhir Juli 2020 senilai Rp601,9 triliun atau 50,2% terhadap target APBN 2020 yang sudah diubah sesuai Perpres No. 72/2020 senilai Rp1.198,8 triliun.
Kontraksi tersebut lebih dalam dari yang diperkirakan. “Kalau kita lihat dari sisi growth penerimaan pajak adalah negatif 14,7%. Ini lebih dalam dari yang kami perkirakan. Ini yang perlu kami perhatikan dari faktor-faktor pajak tersebut,” kata Sri Mulyani.
Dia merinci penerimaan PPh migas hingga akhir Juli 2020 tercatat senilai Rp19,8 triliun atau minus 44,3% dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu Rp35,5 triliun. “Penurunan PPh migas secara drastis tersebut melanjutkan penurunan mulai Februari 2020 karena dipengaruhi harga minyak dunia yang anjlok,” katanya.
Sedangkan penerimaan pajak nonmigas senilai Rp582,1 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 13,1%. “Kontraksi ini salah satunya dikarenakan efek lesunya kinerja korporasi karena virus korona sehingga berimbas pada perlambatan setoran pada tahun ini,” tandasnya.
Lebih lanjut, Menkeu mengatakan, jika melihat peta penerimaan pajak tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang sangat rapuh. “Ini yang harus hati-hati. Untuk menuju nol (pertumbuhan ekonomi) diperlukan kerja keras yang berat, karena aktivitas ekonomi belum menunjukan perbaikan seperti yang kita harapkan,” tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Indef Bhima Yudhsitira menilai, defisit yang terjadi saat ini permasalahannya adalah ketika proyeksi defisit APBN melebar namun uang untuk melakukan stimulus ini ternyata serapannya sangat lambat, kususnya untuk stimulus kesehatan.
“Jadi sangat jauh dari ekspektasi. Nah ini kemudian jadi masalah. Artinya dengan proyeksi pelebaran defisit, pemerintah cari uang dengan cara mengutang dan utang naik cukup tinggi sementara anggaran yang ada untuk lakukan stimulus nol,” ujar Bhima saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Dari sisi pejabat pelaksana teknis, ini yang tidak bekerja secara optimal. Sehingga pemulihan ekonomi berjalan lebih lama. Efek dari adanya pelebaran anggaran tidak disertai dengan percepatan realisasi stimulus. Artinya pelebaran anggaran ini bisa sangat mubazir bagi ekonomi Indonesia dan akan jadi beban karena ternyata uangnya ditahan untuk dicairkan dalam bentuk stimulus.
“Nah kalau ini terus terjadi sampai akhir tahun, otomatis pemulihan ekonomi akan lambat dan efeknya kita akan masuk resesi, Sementara penerimaan pajak butuh waktu lebih lama lagi,” beber dia. Jadi, sambung dia, semua masalah ini ada pada pejabat yang kurang kompeten dan birokrasi yang lambat dalam mencairkan stimulus. Padahal anggaran sudah dicarikan dari pelebaran defisit tersebut. (Koran Sindo)
Tinggalkan Balasan