MANADO— Menjadi saluran berkat Tuhan bagi orang banyak tentu menjadi dambaan semua orang. Beragam profesi yang dapat membantu orang banyak tentu tak lepas dari pengorbanan. Salah satunya menjadi Pendeta yang memberikan pelayanan kepada pasien maupun keluarga pasien Covid-19.
Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, profesi tersebut bisa dikatakan tak lepas akan resiko tertular virus korona. Namun demikian, Pdt. Christian Nathaniel Keintjem, salah satu anggota unit kerohanian di RSUP Prof Kandou Manado, tak merasa terbebani dalam menjalankan tugas penggembalaannya.
Pendeta GMIM itu mengatakan bahwa semenjak Covid-19 ada di Sulawesi Utara (Sulut) pada medio Maret 2020, dirinya sudah memberikan pelayanan bagi para pasien Covid-19, sesuai dengan surat keputusan dari Sinode GMIM yang menyatakan bahwa dirinya menjadi pendeta fungsional di RSUP Prof Kandou.
“Awalnya di tahun 2020 sebelum Perjamuan Kudus, di bulan-bulan Maret atau April yang sudah ada Covid. Waktu pertama-pertama waktu kasus masih sedikit di Irina F, pelayanan lewat pengeras suara yang ada di ruangan, karena tak bisa bertatap muka langsung dengan pasien kan,” ujarnya saat berbincang via telepon dengan wartawan KORAN SINDO MANADO/SINDOMANADO.COM, Senin (4/1/2021).
Baru-baru ini ketika melewati perayaan Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, pendeta asal Manado itu melakukan perjamuan akhir tahun melalui pengeras suara di beberapa ruangan yang kini telah difungsikan merawat pasien Covid-19, seperti ruangan Anggrek I dan Anggrek II.
“Dan para pasien merasa tersentuh, karena memang harus ada penguatan kan. Kemudian untuk pelayanan di ruangan Nyiur, mereka itu berada di Taman, tetapi Pendeta berada di luar taman, karena kan harus jarak jauh, sehingga menggunakan pengeras suara yang wireless itu, agar mereka bisa mendengar,” tukasnya.
Sejak tiga bulan terakhir ini, pendeta yang lahir di hari Natal pada tahun 1981 silam itu pun juga melayani keluarga pasien Covid-19 di RSUP Prof Kandou yang meminta bantuan untuk membawakan ibadah pelepasan bagi anggota keluarganya yang meninggal akibat penyakit yang awalnya ditemukan di Wuhan, China itu.
“Pendeta selalu siap dalam melayani keluarga. Namun awalnya itu menjadi sedikit berbeban, karena cuma pelayanan untuk pasien yang sudah meninggal. Sehingga pribadi sebagai pendeta mengupayakan sebaik mungkin untuk menguatkan para pasien yang masih dirawat, artinya bukan sudah nanti meninggal baru dilakukan penguatan bagi keluarga,” kata dia.
“Yang paling utama itu menguatkan pasien. Karena prinsipnya Pendeta terkadang melihat kalau pasien itu tidak ada sentuhan dari segi spiritual, mereka itu mau drop imunnya. Tetapi ketika ada sentuhan spiritual, mereka merasa dalam perlindungan tuhan, sehingga waktu sentuhan spiritual saat ibadah, banyak pasien yang menangis,” tutur Pdt. Christian.
Pelayanan sendiri dilakukan setiap hari, dimana dirinya menuturkan bahwa dia bersama satu Pendeta lainnya siap melayani pasien 1×24 jam. “Ada saat-saat tertentu kalau pasien sudah gawat, mereka telepon Pendeta untuk membuat penyerahan. Terkadang ada jam 12 malam, jam 1 pagi,” bebernya seraya menambahkan bahwa di RSUP Prof Kandou memiliki Unit Kerohanian yang terdiri dari 2 Pendeta GMIM, 1 Pastor, 1 Ustad, dan 1 Pendeta Hindu.
Suka duka pelayanan pun diutarakannya. Tentu hal yang menjadi suka semenjak ditugaskan ialah bisa melayani Tuhan dan bisa menjadi saluran berkat-Nya bagi banyak orang. “Karena hidup ini dianugerahkan oleh Tuhan,” tutur Pendeta berumur 39 tahun itu.
Pendeta kelahiran Manado itu juga berbagi kesaksian kenapa dirinya memutuskan untuk menjadi pendeta. Sewaktu masih berumur 11 tahun pernah mengalami kecelakaan dimana sepeda yang dikendarainya ditabrak oleh mobil. Selepas kejadian itu, dirinya mengalami koma selama tiga minggu.
“Pendeta ini waktu itu pasien neuro, pasien saraf. Tapi dengan kemurahan dan kasih Tuhan, setiap peristiwa ada maksud dan rencana Tuhan, sehingga Tuhan menuntut doa orang tua. Waktu itu saya sudah divonis bahwa saya bisa hidup atau mati, karena koma selama tiga minggu itu,” ungkapnya.
“Disampaikan juga oleh dokter waktu itu apabila saya sadar, saya bisa gila karena di otak kanan saya ada gumpalan darah yang kabur. Ada operasi beresiko yang sebenarnya harus dilakukan, tetapi pada prinsipnya itu rencana manusia, yang menentukan Allah. Akhirnya Tuhan yang mengoperasi saya, itulah yang membuat akhirnya memutuskan untuk sekolah Pendeta,” ceritanya.
Banyak kali dirinya pun membagikan kesaksiannya tersebut kepada para pasien, terlebih kepada mereka yang dirawat di Irina A yang kebanyakan merupakan mereka yang mengalami kecelakaan, juga keluarga pasien yang anggota keluarganya sementara di rawat di ruangan ICU karena kecelakaan.
“Maksud memberikan kesaksian kepada pasien dan keluarga pasien itu jangan ada menyerah. Musti bersandar kepada Tuhan. Sehingga hidup memberi untuk melayani Tuhan dalam pelayanan di gereja, di RSUP Prof Kandou. Suka dan duka itu banyak dijumpai dalam pelayanan,” imbuh Pdt. Christian.
Saat pandemi ini, terkadang sifat manusiawinya muncul, dimana ia merasa khawatir dan sangat takut secara manusiawi. “Tetapi ketika bersandar kepada Tuhan, Tuhan memampukan Pendeta untuk melayani,” tukasnya.
“Karena kebanyakan kan sekarang itu ada yang OTG, dan Pendeta pernah bersentuhan dengan perawat yang ternyata positif Covid-19. Tetapi Puji Tuhan ketika pendeta isolasi dan melakukan test, hasilnya negatif. Mengamini ini semua karena Karya dan kasih Tuhan kepada pendeta,” pungkasnya.
Untuk pelayanan kepada pasien Covid-19 yang meninggal, dirinya menuturkan bahwa hal itu tergantung kepada keluarga pasien itu sendiri. “Karena ada juga kan pasien yang meninggal kemudian ada pendeta di jemaat pasien tersebut yang melayani. Tetapi dengan kondisi kasus yang meningkat saat ini, kebanyakan saya yang melakukan pelepasan jenazah,” ucapnya.
Banyak juga yang meminta dirinya untuk melayani sampai pada pemakaman pasien. Tetapi sesuai instruksi dari pemerintah, dimana untuk di lahan pekuburan sudah disiapkan pelayan rohaninya sendiri. “Misalnya diminta hal seperti itu, memang sesuai organisasi juga tak bisa saya melewati, karena bisa ditindak oleh Sinode. Sebab sesuai edaran, hanya yang berusia 25-35 tahun saja, sementara pendeta sudah 39 tahun,” pungkasnya.
Diakhir, dirinya menyebut bahwa secara manusia kita harus menguatkan iman, disamping menguatkan imun dan mengikuti anjuran pemerintah untuk melaksanakan 3M, yakni mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. “Karena kalau kita mengukur dari segi ilmu manusia tidak bisa membendung,” kata dia.
“Tapi dengan iman yang percaya dengan Tuhan Yesus sebagai Allah yang menciptakan dunia ini, pasti akan dipulihkan. Dan untuk masyarakat, jangan juga terlalu pandang enteng, jangan kita yang kena. Kalau kita bergandengan tangan, maka kita bisa melawan Covid-19 ini. Harus kuat iman dan harus kuat imun, juga insting,” kuncinya. (Fernando Rumetor)
Tinggalkan Balasan