Tak Mampu Tangani Pandemi, Ekonomi Sulut Bisa Makin Sulit

oleh

MANADO – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) mencatatkan pertumbuhan ekonomi Sulut secara kumulatif (whole year/cumulative to cumulative/c-to-c) pada 2020 lalu mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar -0,99%. Menatap 2021, apakah akan ekonomi Sulut akan membaik atau malah makin terpuruk tergantung strategi pemerintah daerah. Bila pemerintah mampu mengendalikan pandemi Covid-19, ekonomi Sulut akan cepat pulih. Bila tidak, masyarakat akan makin sulit.

Selain itu, perlu kebijakan-kebijakan pemulihan ekonomi yang cepat dan inovatif serta tidak melulu bergantung pada pemerintah pusat. Angka pertumbuhan ekonomi Sulut yang negatif pada 2020 diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Sulut Norma Regar dalam rilis Berita Resmi Statistik (BRS) yang disiarkan melalui akun Youtube BPS Sulut pada Jumat (5/2/2021) terkait ‘Pertumbuhan Ekonomi Triwulan IV 2020’  “Kalau kita melihat tren pertumbuhan ekonomi Sulut sejak tujuh tahun terakhir tampak bahwa kisaran pertumbuhan berada pada level 5% sampai dengan 6% sekian. Hanya di tahun 2020 ini yang mengalami pertumbuhan negatif atau mengalami kontraksi sebesar -0,99%,” paparnya.

Seperti diungkapkan Norma, BPS Sulut mencatat pada 2019 lalu perekonomian Bumi Nyiur Melambai mengalami pertumbuhan sebesar 5,66%. Lalu pada 2018 tumbuh sebesar 6,01%, kemudian 2017 tumbuh sebesar 6,32%, serta pada 2016 perekonomian Sulut tumbuh sebesar 6,17%.

“Kontraksi -0,99% ini merupakan efek pertumbuhan sebagian besar lapangan usaha yang juga terkontraksi. Kontraksi terdalam terjadi pada lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar -25,96%, kemudian diikuti oleh Transportasi dan Pergudangan sebesar -13,78%, serta Jasa Lainnya sebesar -10,06%,” ujarnya.

Lanjut dikatakan Norma, ketiga lapangan usaha tersebut memang merupakan lapangan usaha yang sangat berkaitan erat dengan aktivitas pariwisata yang bisa dikatakan mengalami pukulan paling kuat akibat adanya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pada tahun 2020 lalu.  “Sementara itu, lapangan usaha yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi yakni Informasi dan Komunikasi sebesar 10,90%; Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 8,28%; serta Pengadaan Listrik, Gas, dan Produksi Es sebesar 6,95%,” ujar Norma dalam BRS tersebut.

Adanya pertumbuhan dari ketiga sektor lapangan usaha itu tak lain disebabkan oleh adanya aktivitas masyarakat yang masih cukup banyak dilakukan di rumah seperti work from home (WFH), school from home (SFH), beribadah dari rumah, serta kegiatan sosial lainnya yang menyebabkan konsumsi pulsa dan paket data terus meningkat.

“Hanya pada Triwulan I 2020 perekonomian Sulut masih mengalami tren pertumbuhan karena belum terdampak pandemi Covid-19. Pada saat itu aktivitas ekonomi masih berlangsung normal,” imbuh Norma. Ia lalu merinci bahwa pada 2020 terdapat sembilan sektor lapangan usaha yang tumbuh negatif.

“Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; Transportasi dan Pergudangan; Jasa Lainnya; Jasa Perusahaan; Konstruksi; Perdagangan Besar dan Eceran. Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; Administrasi Pemerintahan;  Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; Real Estate; serta Pertambangan dan Penggalian,” tukas Norma.

Kendati demikian, ada delapan lapangan usaha yang masih bertumbuh pada tahun lalu, antara lain Informasi dan Komunikasi; Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; Pengadaan Listrik, Gas dan Produksi Es; Jasa Keuangan dan Asuransi; Industri Pengolahan. “Kemudian Pengadaan Air; Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan; serta Jasa Pendidikan,” jelasnya.

Melihat pertumbuhan ekonomi Sulut yang mengalami kontraksi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Linda Lambey mengatakan bahwa hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah daerah saat ini adalah melakukan efisiensi anggaran.

“Efisiensi itu maksudnya pembiayaan atas kegiatan yang tak terlalu penting itu dikurangi, dan dialokasikan untuk full penanganan efek Covid-19 terhadap ekonomi. Karena menurut saya sering sekali pemerintah melakukan perjalanan dinas, sebenarnya perjalanan dinas itu untuk apa?” pungkasnya saat dihubungi kemarin.

Dikatakan Lambey, memang saat ini perjalanan dinas sudah jauh berkurang karena terhalang oleh virus korona. Akan tetapi di lain pihak, pemerintah juga jor-joran menghabiskan dana di akhir tahun, salah satunya dengan membeli beberapa aset yang sebenarnya belum terlalu diperlukan untuk diperbaharui.

“Jadi walaupun masih ada aset yang masih bisa dipakai, tetapi akhirnya harus membeli baru lagi karena ingin menghabiskan anggaran. Lalu setelahnya tidak digunakan secara efektif. Seperti contohnya pengadaan komputer atau laptop, padahal sebenarnya komputer atau laptop masih baik,” jelas dia.

Di sisi lain pengeluaran belanja daerah untuk gaji PNS yang masih sangat tinggi juga dinilai Project Researcher di RMIT University Melbourne Australia itu, harus dikurangi. Selain itu, pemda di Sulut juga bisa meniru gaya Australia yang memberikan stimulus-stimulus serta beberapa kebijakan untuk menjaga ekonomi masyarakat.

Seperti memberikan pekerjaan kepada masyarakat yang harus dipecat ataupun mereka yang usahanya tutup karena pandemi. Lalu membebaskan biaya pajak bagi tempat-tempat usaha yang memang susah untuk bertahan kala masa pandemi ini. Selain itu, pemda juga bisa memberikan suntikan dana kepada masyarakat maupun dunia usaha.

“Memang untuk pertumbuhan ekonomi dapat kembali normal masih lama saya kira. Masalah Covid-19 saja belum bisa tertanggulangi dengan baik. Lima tahunan lebih itu ada. Tahun depan juga saya rasa masih akan sulit untuk bertumbuh ekonomi kita, masih akan membaik perlahan-lahan sampai lima tahun kedepan,” jelasnya.

Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsrat Manado ini menyebut, program vaksinasi menjadi salah satu kunci dalam membangkitkan ekonomi. Sebab apabila masyarakat sehat dan bisa melakukan aktivitas ekonomi dengan baik, maka pemulihan ekonomi secara perlahan-lahan ini bisa dilakukan.

“Masyarakat yang sehat adalah aset bangsa dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa. Tetapi bukan hanya masyarakat yang sehat saja, tetapi juga dibarengi dengan skill dan keterampilan. Dua hal itu yang harus betul-betul juga didorong oleh pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi ini,” ungkapnya.

Sementara itu, Ekonom Sulut Robert Winerungan mengatakan bahwa saat sekarang ini memang sulit bagi pemerintah. Kesehatan dan perekonomian bak buah simalakama yang merupakan pertaruhan pemerintah. Antara mengutamakan kesehatan tetapi ekonomi merosot, namun jika mengutamakan ekonomi maka akan banyak juga masyarakat yang menjadi sakit nantinya.

“Hotel dan restaurant itu juga kan memengaruhi pendapatan daerah. Memang Sulut agak sedikit beruntung dibandingkan nasional yang minus satu lebih. Sebenarnya bisa pertumbuhan ekonomi ada, tetapi harus dibarengi dengan taatnya masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan,” ungkapnya.

Dilihat Winerungan, banyak masyarakat yang cuek dengan protokol kesehatan ini. “Orang boleh berproduksi, boleh bekerja, tetapi harus memperhatikan betul protokol kesehatan ini. Kalau masyarakat taat, maka makin banyak orang yang sehat. Artinya kita bisa lebih leluasa dalam bekerja dan berproduksi,” beber Ekonom dari Unima itu.

Winerungan mengucapkan, satu-satunya cara untuk menggiatkan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat adalah dari pengeluaran pemerintah. “Pengeluaran pemerintah harus campur tangan dalam peningkatan daya beli masyarakat. Menjaga masyarakat jangan sampai lapar, karena kalau lapar, masyarakat sudah tak memandang lagi kesehatan ini,” ucapnya.

Ia pun melihat bahwa ekonomi Sulut bisa pulih dan bertumbuh apabila Covid-19 sudah tidak ada, atau setidaknya bisa berkurang dan dapat ditangani dengan baik. “Tahun ini mungkin tidak bisa tumbuh sekali. Tetapi mudah-mudahan tahun depan ketika pandemi mulai mereda, pasti bisa survive, sekalipun paling tinggi pertumbuhannya 1-2%,” kuncinya.

Hal senada disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulut, Arbonas Hutabarat beberapa waktu lalu. Menurutnya, berbagai upaya untuk menurunkan kurva kasus aktif Covid-19 di Sulut menjadi kondisi prasyarat untuk mendorong kembali kenaikan aktivitas ekonomi.

“Meski berisiko memberikan tekanan inflasi, peningkatan aktivitas diperlukan untuk menjaga permintaan dan mendorong pemulihan ekonomi daerah,” singkatnya. (Fernando Rumetor)