MANADO- Sampai saat ini masih banyak korban praktik mafia tanah yang diabaikan oleh aparat penegak hukum, termasuk kasus-kasus perampasan tanah. Oleh karena itu, instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberantasan mafia tanah dan pemenuhan hak-hak korban perampasan tanah jangan sekadar lips service. Proses kasus tanah di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat, RT 25, RW 7, Lingkungan IV, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut) diduga punya backingan kuat.
“Saya berharap Pak Kapolda Sulut bisa mengungkap kasus dugaan mafia tanah ini bagian dari perintah pak Presiden, jika tidak memberantas mafia tanah di Sulut termasuk terjadi pada kasus kami, berarti pak Kapolda dinilai tidak mendengar apa yang diperintahkan Presiden. Kami menduga jangan-jangan ada Backingan kuat sehingga kasus kami prosesnya seperti ini,” ujar Pelapor Asa Saudale, kemarin.
Sementara itu, harapan lain disampaikan salah satu korban mafia tanah yang juga Guru Besar IPB University, Prof Ing Mokoginta dalam surat terbuka ketiga untuk Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang dibacakan di rumah dinasnya di perumahan IPB, Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/7/2021).
Surat terbuka itu dibuat kembali oleh Ing Mokoginta karena laporan kasus perampasan tanah miliknya tak kunjung dituntaskan. Dia menduga ada oknum aparat yang menjadi beking perampas tanah, sehingga dia berniat membawa kasus ini ke Mabes Polri.
Profesor Ing mengaku kecewa dengan lambannya proses penyidikan oleh Polda Sulawesi Utara terhadap kasus pemalsuan sertifikat di atas tanah miliknya seluas 1,6 hektare di Kotamobagu, Sulawesi Utara.
“Perampasan tanah SHM kami di Kotamobagu sudah kami laporkan ke Polda Sulut empat tahun lalu. Kasus perampasan tanah kami sudah ditangani oleh lima Kapolda. Terakhir, kami tahu direktur penyidik pun sudah diganti,” ujarnya.
Ing Mokoginta menjelaskan, bukti-bukti tindak pidana perampasan tanahnya sangat kuat, di antaranya sertifikat aspal terbitan 2009 di atas tanahnya sudah dibatalkan hingga inkrah di Mahkamah Agung. Namun, hingga kini baru ada satu orang yang diperiksa dari 12 orang yang dilaporkan. Saat ini, kata dia, ada upaya untuk menghambat penyidikan yang dilakukan pihak terlapor dengan cara menggugat lagi tanah miliknya.
Menurut Prof Ing, jika ini dibiarkan oleh pihak penyidik Polda Sulut maka sama saja sengaja ingin mengabaikan perintah Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang ingin agar mafia tanah diberantas.
“Saat ini, pihak terlapor justru menggugat kami di pengadilan negeri dengan menggunakan SHM yang sudah dibatalkan dan sudah ditarik kembali oleh BPN Kotamobagu. Bukankah hal ini merupakan suatu bentuk tindak pidana penggunaan dokumen palsu lagi.? Kami menduga ini upaya pihak terlapor dan komplotan mafia serta beking-bekingnya untuk menghambat proses penyidikan perkara pidana yang sudah kami laporkan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan perintah Presiden dan Kapolri untuk memberantas mafia tanah beserta beking-bekingnya,” ujar Ing Mokoginta.
Jika kasus yang menimpanya tak kunjung tuntas, Ing berencana membawa kasus ini ke Mabes Polri dalam waktu dekat ini. Dia berharap, kasus ini dapat cepat selesai karena bisa langsung di awasi Kapolri.
“Mengingat bahwa pengaduan kami telah direspon oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) dan mengingat pula tidak terlihat ada kemajuan berarti dalam proses penyidikan di Polda Sulut, maka kami meminta kasus ini dilimpahkan ke Tipidum Mabes Polri. Kiranya kami diberi petunjuk untuk memindahkan perkara kami ke Tipidum Mabes Polri sesegera mungkin. Sekali lagi, kami mohon bantuan Bapak Presiden dan Kapolri dalam penyelesaian perkara kami. Atas perhatian dan bantuannya kami ucapkan banyak terima kasih,” tutur Ing Mokoginta.
Sementara itu, Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budiardjo menjelaskan, apa yang dialami Mokoginta memang banyak yang dialami para korban perampasan tanah lainnya. Menurut Budi, laporan kasus perampasan tanah miliknya di Cengkareng juga sempat mandek saat ditangani di Polda Metro Jaya, sehingga dia melimpahkan kasus tersebut ke Mabes Polri.
Karena itu, Budi meminta agar para korban perampasan tanah harus menyiapkan data kepemilikan secara lengkap agar siap beradu data dengan mafia perampas tanah. Budi menegaskan, perampasan tanah bukan perkara perdata tetapi pidana.
“Perampasan, apa pun bendanya, bukan sengketa. Ini bukan perkara perdata, melainkan pidana. Jadi, korban perampasan tanah harus siap adu data dengan mafia perampas tanah yang sudah dilaporkan tindak pidananya kepada polisi,” ujar Budi.
Sedangkan, Ketua Relawan Wira Lentera Jiwa (WLJ) Janes Yoshua berharap Kapolri yang baru bisa mewujudkan perintah Presiden Jokowi untuk memberantas beking mafia tanah agar korban segera mendapatkan hak tanah mereka. Janes juga berharap para relawan Jokowi yang duduk di pemerintahan, khususnya Kantor Staf Presiden (KSP) juga memiliki semangat yang sama membantu para korban.
“Saya yakin di bawah Kapolri yang baru pemberantasan beking mafia tanah bisa terlaksana. Kami bersama FKMTI siap membantu dengan memberikan data-data valid milik para korban perampasan tanah supaya korban segera mendapatkan hak mereka, tidak diseret-seret ke pengadilan perdata, dan komplotan mafia tanah segera ditangkap,” tandasnya.
Terkait tanah di Gogagoman, sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulut seriusi kasus tanah di Gogagoman Kotamobagu. Pun, munculnya sertifikat tanah baru akan ditelusuri.
“Kasus tersebut saat ini masuk tahap penyidikan, akan mengumpulkan barang bukti untuk melengkapi berkasnya,” ujar Direktur Ditreskrimum Polda Sulut, AKBP Gani Siahaan, kepada sindomanado.com, di ruang kerjanya, Selasa (13/7/2021).
Menurut dia, kalau secara putusan PTUN yang berhak adalah Sintje Mokoginta dan Prof Ing, karena memang sertifikat mereka ada muncul sertifikat baru ini yang menimbulkan masalah.
“Muncul pertanyaan, kenapa muncul sertifikat baru, kita akan telusuri sampai disana,” tegas dia. (valentino warouw)
Tinggalkan Balasan