(foto:Ist)

Tahukah Anda, hanya 4% orang kaya yang percaya bahwa kesuksesan dan kekayaan yang didapatnya adalah berkat keberuntungan. Sementara itu, lebih dari 50% orang yang gagal dan terpuruk, justru mempercayai yang sebaliknya. Hal ini merupakan hasil penelitian yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Rich Habits, yang ditulis oleh Thomas C. Corley, seorang yang berasal dari keluarga sangat kaya, namun kemudian jatuh bangkrut. Corley—yang keluarganya berhasil bangkit dan kembali sukses—menjadikan referensi hidupnya sebagai latar belakang penelitian yang membuatnya menemukan bagaimana pola pikir orang kaya bisa membuat “yang kaya semakin kaya”. Dalam konteks tersebut, pola pikir jelas menjadi pembeda. Dan, ujungnya, hal tersebut membuat tindakan yang berbeda-beda pula. Mereka yang yakin bahwa keberuntungan hanya datang pada orang yang bekerja keras dan berupaya maksimal, tentu akan berbeda dengan mereka yang yakin bahwa “keberuntungan” hanyalah pemberian Sang Pemberi Rezeki. Intinya, dengan pola pikir yang benar, orang-orang sukses dan kaya sebenarnya telah “menciptakan” keberuntungannya sendiri. Bagaimana mereka bisa mencipta keberuntungan yang oleh sebagian orang lain—yang bermental miskin—diyakini adalah “pemberian”. Di sini, kesadaran seseorang tentang hukum “mencipta” harus dimulai dari tahu terlebih dahulu.

Saat kita sadar bahwa keberuntungan bisa diciptakan, maka kita akan tahu, bahwa kita harus berusaha. Dengan cara itu, kita bisa mencari dan memahami, bagaimana “hukum” itu bekerja. Saat sudah paham, kita akan mengerti. Dalam kondisi tersebut, maka kita akan makin mendalami, apa yang harus dan bisa kita kerjakan untuk menciptakan keberuntungan dalam meraih kesuksesan. Saya menganalogikan anak-anak muda yang sedang belajar. Satu dengan yang lain pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, mereka semua mendapat pelajaran yang sama. Tak heran jika di antara mereka mendapat nilai yang berbeda-beda. Ada yang jago matematika tapi sulit dapat nilai bagus di bidang bahasa. Ada yang pandai olahraga tapi nilai mata pelajaran yang mengandung hafalan biasa-biasa saja. Ada yang menonjol dalam pelajaran yang perlu keterampilan tangan, tapi nilainya yang lain dianggap belum mencapai hasil yang memuaskan. Di sinilah seseorang sebenarnya sudah “dikotak-kotakkan” dalam ranah manfaat dan kelebihan masing-masing. Artinya, tak semua anak bisa disamaratakan. Sehingga, untuk mencapai kesuksesan, tak mungkin akan bisa sempurna di semua bidang pelajaran. Begitu pula kita sebagai manusia. Kita harus terus mencari, agar tahu, paham, dan mengerti apa yang menjadi kelebihan dan “panggilan” kita. Tak mudah memang. Proses pencarian tersebut bahkan bisa jadi tak akan ada akhirnya. Namun, bagi mereka yang terus mencari, selalu ada celah di mana seseorang bisa terus berkarya. “Celah” inilah yang acap kali dipandang sebagai sebuah “keberuntungan”.

Karena itu, bagi kita yang benar-benar ingin sukses dalam menciptakan keberuntungan dalam hidupnya, harus menekuni dan menguasai bidang yang benar-benar dicintainya. Kalau pun saat ini masih belum menemukan apa yang benar-benar dicintai, minimal nikmati apa yang sedang dikerjakan. Sebab, bisa jadi, pekerjaan yang digeluti saat ini adalah “jembatan” yang menghubungkan kita pada kesuksesan hakiki yang kita cari. Dengan cara semacam itu, kita akan benar-benar paham keadaan yang sebenarnya. Jika saat ini kita seorang karyawan, kita akan tahu persis bagaimana kita bisa menjadi karyawan yang tahu seluk-beluk untuk berkarya maksimal. Sehingga, seiring berjalannya waktu, kita akan menjadi “master” yang bisa meraih berbagai prestasi kerja. Jika kita saat ini sebagai pengusaha, kita akan tahu persis bagaimana seluk beluk industri yang kita tekuni. Saat-saat gagal dan susah, justru menjadikan kita mampu menemukan berbagai jalan keluar di balik beragam persoalan. Inilah yang sering disebut oleh Malcolm Gladwell, penulis buku The Tipping Point, Outliars, hingga Blink. Ia mengungkap tentang hukum “10 ribu jam”. Yakni, mereka yang telah “bekerja” minimal 10 ribu jam pada bidang yang sama, akan menjadi ahli di bidangnya. Mereka inilah yang mampu menciptakan dan mendatangkan keberuntungan—yang seolah-olah bertubi-tubi dan begitu mudahnya—setelah melewati masa “penggemblengan” 10 ribu jam sebelumnya. Dengan minimal 10 ribu jam itu, mereka akan paham keadaan sebenarnya, tentang apa yang mereka lakukan, tentang industri yang mereka geluti, tentang tantangan dan hambatan yang selalu menghadang, tentang kesulitan yang mereka hadapi, tentang peluang dan kesempatan yang selalu ada, hingga berbagai kemungkinan lain. Mereka inilah—yang fokus pada apa yang dikerjakan, dicintai, dan kemudian dilakukan dengan sepenuh hati—yang akan mampu menciptakan keberuntungan hingga meraih berbagai keberhasilan. Bruce Lee selalu diingat sebagai legenda kungfu, meski ia seorang ahli yang mempelajari banyak ilmu. Thomas Alva Edison selalu akan dikenang sebagai penemu lampu pijar, meski ia juga menemukan begitu banyak karya bermanfaat lainnya. Steve Jobs juga selalu dikenang sebagai Sang Maestro “keindahan” teknologi informasi melalui produk Apple-nya, meski ia pun sebenarnya memiliki beragam keberhasilan.

The Cup of Wisdom

Orang-orang sukses berhasil menciptakan keberuntungan masing-masing, karena mereka memahami keadaan sebenarnya—pada bidang yang mereka tekuni. Di sinilah sekaligus menjadi kekuatan pembeda bagi mereka masing-masing. Begitu pula kita semua. Jika mampu memahami keadaan sebenarnya—yakni bidang apa yang benar-benar bisa kita fokuskan untuk mencapai keberhasilan—niscaya akan banyak karya yang bisa kita wujudkan untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Temukan apa yang kita cintai. Tekuni dengan sepenuh hati. Maka, kita akan paham dan sadar sepenuhnya, bahwa sukses adalah hak kita, hak Anda, hak semua! Salam sukses luar biasa!