
MANADO—Pergerakan harga cengkih di provinsi Sulawesi Utara (Sulut) terus menurun. Harga rata-rata perdagangan di Kota Manado tinggal Rp95.000 per kilogram (kg)
Wakil Ketua Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI) Sulut Adrian Sembel mengatakan, pemerintah daerah mesti campur tangan atas penurunan salah satu komoditi andalan Sulut, agar harganya tidak terus anjlok.
“Pemerintah daerah bantulah petani di Sulut, lakukan lobby ke pemerintah pusat untuk menaikkan harga cengkih,” jelas Sembel, Rabu, 8/8/2018.
Sebab kata dia, meskipun tidak semua warga Sulut memiliki kebun cengkih, namun emas coklat ini dinilainya mampu memberikan kontribusi sekira 60% dari perputaran ekonomi daerah. Sebab dampak ekonomi dari perputaran uang dari hasil cengkih sangat besar.
Karena selain petani, perputaran uang dari cengkih dapat dirasakan pedagang, pemilik kendaraan angkutan, dealer mobil dan motor, toko bangunan dan sebagainya.
Karena itu, dengan harga saat ini yang hanya menyentuh Rp90.000 hingga Rp95.000 per kg dirasanya tidak wajar.
Sebab kata dia, berdasarkan perhitungan yang dikeluarkan petani dari persiapan pemetikan hingga cengkih menjadi kering biayanya cukup fantastis.
“Pengeluaran itu mulai dari sewa buruh, perlengkapan pemetikan, terpal untuk menjemur, biaya pengeluarannya lainya mencapai Rp92.000 per kg,” jelasnya.
Karena itu, menurut dia melihat pengeluaran yang besar maka harga ideal cengkih bagi petani minimal Rp150.000 per kg. Dengan harga ini petani bisa untung lewat hasil perkebunannya.
Dijelaskannya, penurunan harga cengkih tidak hanya dirasakan petani Sulut, akan tetapi oleh semua daerah penghasil cengkih di Indonesia.
“Di Indonesia ada 14 daerah penghasil cengkih termasuk Sulut. Semua merasakan hal yang sama,” paparnya.
Karena itu, pihaknya mendorong, agar secepatnya pemerintah pusat menjadikan cengkih sebagai komoditas strategis nasional. Sebab kontribusi hasil cengkih telah menyumbang sekira 10% dari penerimaan negara lewat cukai rokok.
Untuk itu, pemerintah pusat dia berharap, agar mengeluarkan kebijakan harga pembelian minimal di tangan petani.
“Mestinya harus ada Patokan harga dasar (PHD). Kalau kebijakan ini diterbitkan maka spekulan dan tengkulak tidak dapat mempermainkan harga,” ujarnya. (stn)
Tinggalkan Balasan