JAKARTA-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai tata ruang wilayah pantai perlu dievaluasi. Sebab meski ada peringatan dini tsunami, untuk warga yang tinggalnya dekat pantai rentang waktu penyelamatan dirinya sangat pendek.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, aspek terpenting yang terjadi di Palu dan Selat Sunda sehingga tsunami memakan banyak korban itu karena masyarakat banyak yang tinggal nyaris di bibir pantai. Idealnya, menurut dia, ada garis sempadan sejauh 300 meter dari bibir pantai untuk perlindungan jika ada gelombang tinggi.
“Tata ruang sama sekali tidak dijaga. Bahkan jarak ke garis air hanya 5–10 meter. Meski ada peringatan dini sebaik apa pun jika tata ruang tidak dibenahi, tidak banyak membantu,” katanya saat media briefing di Kantor LIPI, Jumat (4/1/2019).
Eko menuturkan, penduduk di Malakopa, Sumatera Barat (Sumbar), setelah kejadian gempa bumi yang melanda Sumbar memindahkan kawasan desanya ke atas bukit. Hasilnya adalah ketika tsunami di Mentawai terjadi pada 2010 tidak ada korban jiwa dari Malakopa.
Oleh karena itu, dia berpendapat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus benar-benar bisa membuat tata ruang wilayah pantai yang berbasis risiko bencana. Eko berpendapat, pemerintah perlu membuat status provinsi dengan peringatan dini, sebab ada wilayah di Indonesia dengan lead time tsunami yang pendek, yakni kurang dari 10 menit.
“Hal ini artinya jika peringatan dini dari BMKG diklaim sampai ke masyarakat dalam kurun waktu 5 menit, tsunami hanya butuh 6-7 menit untuk sampai ke lokasi,” ungkapnya.