BANDUNG – Istilah new normal atau normalitas baru akhir-akhir ini menjadi istilah yang popular. New normal menjadi wacana baru untuk menggambarkan situasi penuh kebiasaan-kebiasaan dan budaya baru yang muncul akibat dampak krisis pandemi Covid-19.
Situasi tersebut merupakan “jalan tengah” yang mau tak mau harus dijalani umat manusia, setidaknya sampai ditemukan penawar ampuh atas Covid-19. Teknologi informasi dan komunikasi atau digitalisasi merupakan tulang punggung utama bagi umat manusia untuk menjalani new normal namun dengan cara tetap produktif.
Walau demikian, pantas dicermati bahwa hegemoni teknologi digital tersebut bukan bebas nilai belaka. Pakar kebijakan dan legislasi teknologi informasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Danrivanto Budhijanto menengarai, peradaban normalitas baru itu berpotensi atau bahkan telah menjelma menjadi platform kolonialisme digital yang mengancam kedaulatan virtual suatu negara dan bangsa.
Situasi ini ditandai oleh begitu masifnya aplikasi video conference yaitu Zoom, Google Meet. “Termasuk juga aplikasi film/video streaming berlangganan yaitu Netflix serta aplikasi “televisi” streaming media sosial seperti YouTube, Facebook TV, dan Instagram TV yang banyak digunakan oleh individu, komunitas, korporasi, dan institusi,” katanya dalam siaran tertulis, Rabu (3/6/2020)V.
“Pandemi Covid-19 juga telah membentuk peradaban normalitas baru dengan karakter personal, proporsional, dan virtual. Kemudahan dan kenyamanan dalam personalisasi atas aplikasi membuatnya menjadi pandemi virtual di masyarakat. Aspek-aspek ini menjadi akan penentu pemenang kolonialisme digital,” jelas ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi-Komunikasi & Kekayaan Intelektual dari Fakultas Hukum Unpad ini.
Namun, ternyata kebijakan dan legislasi tidak berlaku dengan proporsional bagi para penyedia aplikasi layanan film/video virtual asing seperti Netflix, YouTube, IG TV. Beralasan sebagai penyedia layanan over-the-top yang melalui internet adalah justifikasi pamungkas untuk imunitas pematuhan legislasi penyiaran, film, periklanan di Indonesia. Untunglah Kementerian Keuangan melalui UU No 2/2020 telah sanggup menerapkan “pajak virtual” kepada para penyedia platform marketplace maupun aplikasi media sosial asing yang akan berlaku bulan depan. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi kesetaraan proporsional dengan pelaku ekonomi digital nasional.
“New normal adalah perwujudan Data as a New Oil, dan tanpa pematuhan terhadap legislasi nasional oleh para pelaku ekonomi digital asing maka ketahanan ekonomi menjadi terancam,” jelasnya.
Danrivanto menegaskan pula bahwa seharusnya legislasi penyiaran, film, periklanan nasional disanggupkan secara konstitusional untuk dipatuhi para penyedia aplikasi layanan film/video virtual asing sebagai amanat kedaulatan virtual. Tidak perlu menunggu terjadinya kerusuhan sosial dan penjarahan yang sangat ekskalatif seperti di Amerika, yang awalnya adalah konten yang tidak layak diviralkan secara masif melalui aplikasi video media sosial. “Normal Baru adalah infrastrukur pemulihan ekonomi dan sosial, namun tetap mengutamakan keselamatan dan kesehatan personal dengan berbasis virtual,” paparnya.
Social distancing sebagai dampak pandemi korona (Covid-19) membawa berkah pada penyedia aplikasi rapat virtual atau video conference. Zoom Meeting yang menjadi market leader layanan tersebut mengalami lonjakan keuntungan yang sangat besar, yakni hingga 300 juta pertemuan sehari. Padahal, sebelumnya pengguna hanya mencapai 10 juta.
Namun, kini dia tidak sendirian menggarap pasar tersebut. Beberapa pemain baru di aplikasi rapat virtual tersebut antara lain Messenger Rooms, Tim Microsoft, Google Meet, Cisco Webex, dan banyak lainnya. Messenger Rooms misalnya. Layanan milik Facebook tersebut mengiming-imingi konsumen bisa bertemu secara virtual dengan 50 orang tanpa batasan waktu.
CEO Facebook Mark Zuckerberg beberapa waktu lalu, dilansir USA Today, menegaskan Facebook dan jaringannya telah memandang komunikasi bersama-sama yang digunakan ratusan juta orang di dunia semakin penting saat pandemi. “Kemampuan untuk merasakan kalian bisa langsung tersambung dengan orang lain secara langsung melalui video merupakan hal penting untuk mempertahankan kebersamaan,” ucapnya.binti mufarida
Banyaknya pesaing tentu menjadi tantangan berat bagi Zoom. Bahkan sangat mungkin dia akan terkalahkan karena banyak pilihan. “Tidak seperti media sosial, pengguna tidak perlu waktu untuk memiliki banyak teman untuk bisa menggelar panggilan video,” kata Charlotte Slaiman, pakar kompetisi dari Public Knowledge. (Koran Sindo)
Tinggalkan Balasan