Millenial Talk (MT) kembali menggelar Webinar Nasional yang mengangkat tema penting ‘Eksistensi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terhadap Penangangan Kasus Kekerasan Seksual’ pada Jumat (19/7/2024).
Sebanyak 378 peserta yang mengikuti Webinar Nasional ini terlihat sangat antusias. Acara dibuka oleh Raturrahmahsari Q. Al Azhar dan kemudian dimoderatori oleh Emmanuella Gloria Aromatica Malonda.
Pada sesi pembukaan, Penanggung Jawab Kegiatan, Jonathan H. Wardoyo menyampaikan bahwa agenda ini merupakan yang keempat kalinya diselenggarakan oleh MT.
Ia juga menjelaskan dengan Webinar Nasional ini bisa mengevaluasi, berpikir kritis, berdialektika, dan berjejaring dengan organisasi lainnya di Sulawesi Utara dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
“Berdasarkan pengalaman kami dalam penangan kasus kekerasan seksual di Minahasa Utara bersama Aliansi Gerakan Perempuan Sulut, dan Swara Parangpuan, kami melihat Aparat Penegak Hukum (APH) kurang mememahami penerapan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” jelasnya.
“Belum memahaminya APH tentang UU TPKS berakibat pada korban itu sendiri, seperti tidak terpenuhi hak-hak normatifnya,” kata Jonathan yang saat ini tengah sibuk mengadvokasi kasus-kasus probono di Sulawesi Utara.
Lima pemateri memaparakan materinya yang sangat apik berdasarkan pengalamannya masing-masing, seperti Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Komnas Perempuan), Sri Wiyanti Eddyono, (Dosen FH Universitas Gadjah Mada), YM Junita Beatrix Ma’i, (Ketua Pengadilan Negeri Amurang), dr. Dian Novita Sari, Sp.FM (Dokter Spesialis Forensik RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang), dan Nurhasanah (Koordinator Kajian, Advokasi, dan Publikasi Yayasan Swara Parangpuan).
Mariana Amirudin dan Sri Wiyanti juga mengatakan kurang pahamnya APH dalam mengimplementasikan UU TPKS pada perkara yang ditanganinya.
Tetapi menurut Junita Beatrix Ma’i APH sudah memahami UU TPKS. Karena Junita sendiri telah menerapkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Pengadilan Negeri Amurang, Sulawesi Utara.
Junita mengatakan tidak bisa di-juncto-kan UU TPKS terhadap kasus kekerasan terhadap anak, jadi jika korban kekerasan seksual adalah anak menurutnya hanya menerapkan UU Perlindungan Anak saja.
Senja Pratama sebagai Penanggap para pemateri sebelumnya juga mengutarakan hal yang sama, dimana APH belum memahami UU TPKS. Hal itu juga ia pertanyakan kepada Sri Wiyanti Eddyono, “Apakah UU TPKS bisa diterapkan pada kasus kekerasan seksual pada anak atau persetubuhan terhadap anak?”
Tinggalkan Balasan